Perjalanan,
Perjalanan bisa mengikat kebersamaan, sampai persaudaraan.
Hingga terkadang ada suatu perjalanan yang dipenuhi misteri
ditengah keegoisan dan kesombongan.
Misteri yang meminta sebuah penyelesaian dan pemecahan.
Ah, bukankah misteri tak perlu dipecahkan. Karena misteri
hanyalah sebuah pelajaran untuk
bagaimana bersikap dalam sebuah perjalanan,
yang bisa jadi :
Kerendah hatian.
-someone-
Hari ini, kita berempat memutuskan untuk bersenang-senang dalam sebuah
liburan setelah lebaran, sebelum kembali pada rutinitas harian. Tujuan kita
kali ini adalah : kondang merak. Sebuah pantai diujung selatan malang, sedikit
bersebelahan dengan Balekambang yang sudah terkenal itu. Kondang Merak, memilih
lokasi disini bukan karena apa, hanya karena kita suka mendirikan tenda dan
berburu ikan di laut, entah dengan pancing atau jaring. Ah, tidak. Jujur aku
lebih suka menikmati suasana laut dengan lebih dekat, entah ombak dan
gelombangnya, dingin malam dan teriknya sengatan matahari disiang hari, atau
mengamati pola gaya anak muda sekarang ketika pacaran dipantai, haha. Lupakan.
Tas ransel besar sudah siap dipunggungku, satu lagi diboncengan depan motor
butut milik temanku.
Ujang, 30 tahun. Single, hampir
married. Karyawan pabrik kayu.
Sementara di motor satunya, dengan satu tas ransel dan beberapa tas
slempang kecil ditenteng dengan gagah dua teman kita,
Galih, 24 tahun. Baru menjomblo.
Pekerja Lepas di tangki minyak, pelabuhan.
Udin, 20 tahun. Playboy. Pelayan
Setia Warung Kopi.
“Bay, gimana? Tasmu gak berat kan? Lumayan jauh soalnya..” Ucap Mas
Ujang.
“Siap, ayo berangkat.” Kataku.
Sementara, perkenalkan ini adalah aku : Bayu. 22 tahun. Teridentifikasi jomblo. Mahasiswa tua.
Perjalanan ini dimulai dari kota tercinta kita, lamongan. Sementara
waktu, memang tidak ada hal aneh yang mengganggu kita ketika perjalanan ini
dimulai, semua tampak biasa-biasa saja seperti perjalanan sebelum-sebelumnya.
Pagi nan indah membersamai keberangkatan kita. Hal yang selalu kita nantikan dari sebuah perjalanan adalah kebersamaan dan
persaudaraan. Sebentar saja tak tersa kami sudah sampai di surabaya, kita
memutuskan untuk mampir sejenak di tempat kosan Mas Ujang, lalu siang hari
setelah sholat dhuhur dan beristirahat sebentar kita melanjutkan ke perjalanan
ke Malang. Biasanya perjalanan ini kita tempuh dalam empat atau lima jam dengan
kecepatan rata-rata. Macetnya jalanan kota sepanjang surabaya sampai malang
yang mungkin berbarengan dengan arus balik mudik menjadikan perjalanan ini
lebih lambat. Terpaan angin dan hangatnya matahari siang itu, kadang dengan
lincahnya membuat aku mengantuk diboncengan belakang motor.
“Bay, jangan ngantuk!”
“GAK!” jawabku tegas.
Hingga, menjelang maghrib kita baru sampai di jalanan lika-liku naik
turun alas, sebelum sampai di pantai. Petang mengintip, perjalanan tetap kita
lanjutkan, ah bukankah hal demikian sangat mengasyikkan, iya seperti biasanya.
“Jalanan seperti ini mudah, kalo jokinya saya. Haha” Kelakar Udin.
“Gaplek!” celetuk Galih sembari menggedik helm Udin.
Aku tertawa, kita berhenti sejenak disebuah pom bensin lalu membeli
beberapa botol air minum dan sedikit tambahan perbekalan untuk beberapa malam
disana, termasuk juga beras. Tidak tanggung-tanggung : 3 kg. “Berasnya taruh di tas ranselmu yah, Lih.”
Seru Mas Ujang kepada Galih.
“Hemm,” Galih mengangguk takzim.
Dan disini, aku sedikit mengalami keanehan yang tidak seperti
biasanya. Biasanya kita menerabas hutan tengah malampun tak apa-apa, tapi entah
kenapa sekarang tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Dan hati berasa was-was.
Beberapa kali aku mencoba menjadikan biasa hal ini, dan menormalkan keadaaan
hati kembali tapi entahlah, aku tidak bisa. Beberapa kali aku melihat bayang
hitam seperti mengikuti kita dikiri dan kanan alas, ah tidak. Ini hanya
perasaanku saja. Motor Udin menghampiriku danb Mas Ujang. “Mas, pelan-pelan,
kok perasaanku tidak enak yah..” ucapnya.
Mas Ujang hanya tersenyum,”Halah, biasa saja..”
Iyah, harusnya begitu biasa saja, lagian ini jalan masih lumayan ramai
dari arah berlawanan kita. perjalanan tetap berlanjut.
Tidak berselang lama, tiba-tiba aku terkaget karena motor Udin sudah
tidak terlihat dibelakangku, “Mas.. tunggu, Udin dan Galih kemana?”
Motor Mas Ujang berhenti, kita putar balik lalu kita mendapati mereka
berhenti menepi dan berusaha memunguti ceceran beras. Dalam kepalaku berkecamuk
pertanyaan : habis jatuh.
“Mas, tadi seperti ada suara yang begitu keras jatuh, padahal cuma beras
yang jatuh dari tas ranselku, tapi..” ucap Galih terpotong.
“Ini tasku tidak membuka sama sekali, ataupun jatuh tidak. Masih
melekat dipunggungku. Lalu bagaimana beras ini bisa jatuh, saya tak mengerti.”
Cercah Galih, Udin hanya terkesiap diam ketakutan sambil terus berusaha
memunguti beras sedikit demi sedikit. Malam semakin gelap.
“Hah,” aku dan Mas Ujang terkaget.
“tadi seperti ada yang menggeret tasku,” ucap Galih lemas.
Apakah ini berati kita tak boleh menginap, pikiranku menggantung
dengan berbagai dalih yang tak bertuan. Aku kelimpungan dalam ketakutan diriku
sendiri. Lalu secara perlahan, perjalanan tetap berlanjut. Kita sudah sampai di
persimpangan antara balekambang dan jalanan makadam, batu tak beraspal ke arah
kondang merak. Perjalanan malam ini menjadi tidak mudah, karena jalanan batu
yang tak beraspal ini sedikit licin dan becek dibeberapa bagian karena ternyata
disini hujan masih secara rutin turun. Tidak lama, perasaan tidak enakku muncul
dalam sebuah insiden : motorku jatuh.
Mas Ujang kelimpungan, Udin dan Galih turun membantu kami berdiri. Lalu kembali
aku melihat bayang-bayang hitam seliweran didepan kita, seperti cekikikan
tertawa kemudian hilang. Aku ketakutan.
Misteri : Malam ke-1
Kira-kira pukul 21.00, kita sudah mendengar suara debur ombak, lalu
kita merasa bahagia gapura bertuliskan kondang merak telah menyambut kita. kita
bergegas, mencari spot semenarik dan sebaik mungkin lalu mendirikan tenda,
motor kita parkir bersebelahan dengan tenda. Setelah tenda berdiri, kita begitu
bahagia menggelar tikar didepan tenda berhadapan langsung dengan riak-riak
ombok yang mulai naik, perlahan air laut segera pasang. Mendadak, kita terkaget
karena dari arah bibir pantai seorang lelaki tua dengan membawa karung dipungunggnya
yang ternyata berisi jaring menghampiri kita,
“Siapa itu, mas?” ah, kenapa aku begitu takut.
Sorot matanya tajam dalam kegelapan malam, aku memegang bahu Mas Ujang
lalu mengoyangkannya. Udin dan Galih terpana dalam ketakutan.
“Hati-hati dengan merak bermata biru.” Suaranya berat dan parau, lalu
berlalu pergi begitu saja.
Kami terpanah, tak mengerti.
Aku agak merinding mendengar kakek tua tadi, aku tak mengerti apa yang
diucapkannya. Mas ujang berusaha menenangkan kami, dengan kalimat : biasa saja, gak ada apa-apa. Iya, benar
semua akan baik-baik saja aku berusaha menyetujui kalimat Mas Ujang. Udin dan
Galih tak banyak bicara seperti biasanya, kami hanya bercerita kecil berusaha
menetralkan perasaan yang tidak karuan. “Mas, ayo sholat isyak dulu, tadi saya
lihat ada musholah di gubuk-gubuk nelayan sebelah sana,”
“Iyah, ayo, sebentar kamu berangkat duluan.”
Aku melangkah menuju musholah tersebut, tak berselang lama sebelum
sampai di musholah kenapa aku begitu tegang dan ketakutan, musholah itu begitu
tua. Dengan atap dan beberapa bagian papan tak karuan. Tak kusangka, ada anak
kecil perempuan bekisar 8 tahunan menunggu toilet disebelah musholah
bertuliskan : Mandi 2000, Berak 2000, Kencing 1000, Wudlhu Gratis. Aku berusaha mengajak bicara adek tersebut, tapi dia
hanya diam saja. Matanya nanar memandang dengan tatapan kosong. Aku hanya
tersenyum kearahnya sambil memasukkan receh 1000an ke kaleng yang digenggamnya,
mencoba bersahabat. Lalu ketika sholat tiba-tiba aku teringat satu hal, anak
kecil ditengah malam seperti ini sendirian, hah. Lalu dengan sendirinya gerakan
sholatku menjadi begitu cepat. Setelah salam kulihat keluar anak kecil
perempuan tadi tidak ada, aku terbirit-birit berlari menuju tenda.
Sesampainya di tenda, aku melihat begitu asyik Mas Ujang bercerita,
aku tak mau ketinggalan. Dengan api ungun yang menyala kecil didepan kita,
suasana begitu indah. Dan aku baru tahu bahwa ternyata nama kondang merak
berasal dari; dulu banyak burung merak-merak yang singgah dan menghuni di
kondang sebelah pantai, kondang adalah semacam danau yang menjadi muara
bertemunya air laut dan air tawar. Dulu, Mas Ujang pernah mendapatkan cerita
ini dari salah satu nelayan sini. Lalu aku teringat perkataan kakek tua tadi,
“Eh, mas.. lalu ada hubunganya gak sama yang dikatakan kakek tadi : merak bermata biru?”
Udin mendekat tertarik, Galih mengangguk, “Iya mas, apa maksudnya
merak bermata biru?”
“aku tidak tahu.”
Malam kesatu, kami tidur sembari menikmati hembusan angin malam
dibawah gemintang dan langit luas, suara riak-riak ombak menenangkan kadang
menakutkan. Aku sering kebangun, tidurku tak nyenyak, entahlah. Tidak seperti
biasanya. Kupikir bayang-bayang hitam sedari perjalanan melewati alas tadi
sudah hilang. Ternyata tidak.
Misteri : Siang ke-1
Pagi buta, ketika air laut mulai surut, Mas Ujang bangun lebih dulu.
Kulihat dia melangkah ke arah pulau kecil batu karang agak di tengah laut yang
surut. Ah, pasti memasang jaring. Mau apalagi dia. Sementara kami bertiga
menikmati pagi dipinggiran pantai, memandang sana-sini lalu ikut melangkah
sedikit demi sedikit ke Mas Ujang, sebelum air mulai naik dan pasang. Siang
semakin memikat, pantai lalu sedikit demi menjadi ramai pengunjung. Kita mencari
kayu-kayu bakar lalu memasak nasi dan beberapa perbekalan. Sarapan kali ini
meskipun tidak jauh lebih nikmat dari segi masakan, paling tidak terasa begitu enak
dengan suasana pantai yang menggoda. Lalu ketika siang mulai terik, air laut mulai naik menggoda kita untuk
segera mandi dan bermain bersama gelombang-gelombang air laut. Banyak pula pengunjung lainnya yang mandi di
antara ombak-ombak pantai kondang merak ini. Sebetulnya ombak disini lumayan
begitu tenang meskipun berada dideretan pantai selatan yang terkenal dengan
ombaknya yang begitu besar, mungkin karena beberapa hal. Salah satunya karena
banyak pulau karang kecil sekitar 200 meteran dari bibir pantai yang berdiri
tegas, memecah gelombang dan ombak besar agak di tengah sehingga ketika sampai
dipinggir, ombak-ombak itu mulai agak tenang meskipun tetap saja menakutkan
ketika mandi ditengah pasang air laut seperti ini. Kita berteriak-teriak,
bercanda, berenag dan jungkir balik tak karuan. Lalu aku merasa sudah
kedinginan, aku minggir berhenti mandi. Aku tiduran dipinggiran, kemudian tak
lama diikuti oleh Udin dan Galih, lalu Mas Ujang. Diatas terik sengatan
matahari, kami mengawasi gelombang dan ombak-ombak air laut dengan begitu dekat
dan khusyuk, tetapi tiba-tiba mataku mengarah pada pasangan muda mudi yang
mandi ditengah gelombang air laut, jujur yang perempuan begitu cantik meskipun
kutaksir belum sepenuhnya dewasa sekitar anak SMA awal. Dan yang menggelikan
adalah kelakuannya bersama sang cowok yang juga masih bau kencur itu.
Astagfirullah, saling peluk kadang cium dan gendong dengan pakaian minim yang
mengundang mata kelelakian kami terpana. Sial, kasihan itu ceweknya. Rasanya
pengen jitak kepala cowoknya dan berganti menggendong si cewek cantik itu, eh
salah.
“Lihat, anak sekecil itu seharusnya belum saatnya pacaran.” Mas Ujang
memulai obrolan dengan bahasa jawa khas yang medok.
“Haha, iya mas. Gapleki!” tawa Galih.
“Terus, saatnya sampeyan kapan mas, hehe?” canda Udin.
Mas Ujang hanya tersenyum datar.
“Eh, Bayu ituloh temennya sip-sip. Pacarmu anak manu Bay?” tanya
Galih.
Aku tersenyum kecut, lalu mengangguk, “Wes, gausah pacar-pacaran. Ujug-ujug langsung nikah gitu ae. Haha.”
Aku berkelit, membela.
“Haha, iya Bay. Sama, gitu ae wes.”
Kemudian Udin yang kita tahu pacarnya banyak hanya tersenyum sendiri,
sepertinya senyum penuh kemenangan dan bangga karena paling tidak lebih dari
kita. kampret.
Sore menjelang, air laut mulai surut, Mas Ujang langsung berlari
menuju jaring yang tadi pagi dipasang. Dan kita bertiga kembali asyik bermain
dengan air laut surut yang tenang dengan kasur udara. Mendayung kesana kemari bersama keceriaan sore pantai.
![]() |
Dari Kiri Ke Kanan : Udin, Galih, Bayu. |
Sekembalinya Mas Ujang dari tempat jaring, kita terkaget karena dua
hal. Pertama, kita hanya mendapatkan satu ikan agak besar tidak mendapatkan
ikan banyak seperti biasanya, kedua ikan ini begitu aneh, kita semua tak tahu
namanya. Berwarna kebiruan, dengan mata nanar biru mengkilap. Dan yang aneh,
sisiknya lebih mirip dengan bulu.
Misteri : Malam ke-2
Ditengah keremangan malam, kita membuat api unggun dan membakar ikan
hasil tangkapan tadi sore. Setelah terlalu kenyang dengan makanan dan ikan yang
begitu nikmat itu, kami tertidur pulas. Aneh, tak terbangun barang sekalipun.
![]() |
Pagi hari, setelah semalam terguyur hujan ringan. |
Misteri : Siang ke-2
Betapa terkagetnya aku, ketika bangun ternyata tubuh ini kuyub karena
guyuran air hujan semalam. Aku memandang ke arah Mas Ujang, dia malah ketawa.
“Heh, Bay.. gimana bisa hujan sampai tidak tahu, saking terlelapnya
kamu tidur. Bodoh!”
“Haha, entahlah. Sampeyan gimana!” tapi aku merasa aneh.
Kulihat Galih dan Udin tidak ada di gelaran tikar depan tenda, apakah
semalam dia terbangun dan masuk kedalam tenda. Kuintip kedalam tenda, dia sudah
tidak ada.
“Ah, paling sudah main-main kesana.” Ucap Mas Ujang.
Ketika kita melangkah ke arah musholah di antara gubuk-gubuk para
nelayan. Kulihat lagi anak perempuan kecil yang menunggu toilet tersebut, namum
kali ini bersama perempuan dewasa, kukira dia orang tuanya. Seusai sholat
subuh, kutanyakan pada Mas Ujang. “Mas, anak kecil penunggu toilet itu aneh
yah, kenapa pendiam dan tatapannya itu aneh sekali, kosong.”
“Heh, anak kecil perempuan yang mana? Yang nunggu toilet di musholah
itu bukannya ibu-ibu.”
“Iyah, itu disamping ibu-ibu. Lihat!”
“Apanya yang dilihat, bangun kamu! Jangan tidur aja!”
Tiba-tiba aku kuyub akan ketakutan.
Lalu, ketika pagi masih samar-samar belum beranjak. Mas Ujang kembali
membawa tangkapan ikan dari jaring yang kemarin kita pasang. Aneh, memang ikan
ini sama persis dengan yang kemarin sore : Berwarna kebiruan, dengan mata nanar
biru mengkilap. Dan lagi, sisiknya lebih mirip dengan bulu. Bahkan, besarnyapun
sama dengan yang kaemarin sore. Kamipun tanpa ragu kembali membakar ikan
tersebut diatas api ungun yang menyala-nyala sebagi sarapan yang melegakan.
“Mas, kemana Udin dan Galih kok belum kembali.”
“Entahlah, paling main kesana-sana. Udah, sisain saja sedikit buat
mereka.”
Ketika siang mulai hadir, dan pengunjung pantai begitu ramai bermain
dan berenang dipinggiran pantai. Aku merasa begitu takut, entah hari ini aku
tak mau mandi dengan deburan ombak itu, aku merasa takut. Aku hanya sesekali
menggoda kaki-kakiku dengan riak-riak air dipinggiran pantai. Kulihat gelombang
dan ombak hari ini begitu besar, seorang petugas pantaio mengingatkan dua
pemuda yang begitu ketengah ketika mandi. Aku cekikikan, “Kapok! Gak takut mati orang-orang itu.” Pikirku dalam hati. Tak
berselang lama, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri tiga oarang pemuda
terseret ombak besar air laut, teman-temannya bergandengan tangan banyak
berusaha menggeretnya kepinggir. Lalu berkerumun begitu banyak orang, tim sar
petugas pantai datang. Satu dua jam, dalam keramaian ketiga pemuda itu tak
ditemukan. Aku ketakutan, pun merasa bersedih melihat tangisan teman-temannya
yang menjadi-jadi dipinggir pantai.
Lalu sore berkumandang ketika surut air laut, aku dan Mas Ujang
melangkah ke arah pulau karang dimana kita meletakkan jaring ikan. Dan betapa terkagetnya kita ketika
kembali mendapati ikan aneh itu : Berwarna kebiruan, dengan mata nanar biru
mengkilap. Dengan sisiknya lebih mirip dengan bulu. Tapi kali ini, di jaring
ini tidak hanya ikan itu ada satu tangkapan lagi tengkorak kepala ikan yang
menakutkan. “Hey, lihat Bay. Lucu yah?” ungkap Mas Ujang terhadap tengkorak
ikan tersebut. Ketika kita melangkah kembali kepinggir pantai langah kita
terhenti, beberapa meter disamping kita melihat seorang bapak-bapak yang sedang asyik mencari ikan dengan tombak.
Dia berlarian, mengejar ikan diantara air laut dangkal dan batu-batu karang
dibawah. Lalu kulihat bapak-bapak itu berlari semakin menengah.
“Wah, ikan besar mungkin itu Bay..”
aku hanya mengangguk, lalu melanjutkan perjalanan balik.
Byuurrgh. Suara ombak besar
datang agak jauh dari belakang kita, lalu betapa tersentaknya aku dan Mas Ujang
ketika melihat bapak-bapak itu tadi terlihat tersapu oleh ombak besar. “Bay,
kasih tahu tim sar petugas pantai.” Teriak Mas Ujang.
Aku berlari ketakutan ke putugas pantai, kulihat Mas Ujang berusaha
mendekat kearah bapak-bapak itu. Lalu, aku kembali dengan dua petugas tim sar.
Betapa terkejutnya kita ketika mendapati bapak-bapak itu terjepit menyedihkan
diantara batu karang dengan kondisi mengenaskan. Darah dibeberapa bagian tubuhnya,
serta tombak yang menancap di pahanya. Aku gemetar.
“Innalillahi..” suara Mas Ujang pelan.
Kulihat, petugas sar menyiapkan kantong mayat.
Misteri : Malam ke-3
Sekembalinya ke tenda, dan menyiapkan api ungun karena malam mulai
menjelang lalu aku teringat Udin dan Galih yang tidak juga kembali. “Mas,
kemana mereka?” ucapku terbata. Perasaanku sudah tidak karu-karuan dengan berbagai
kejadian tadi siang.
“Kamu tunggu sini, aku akan mencarinya sebentar.” Ucap Mas Ujang.
Aku mengangguk.
“Oiyah, ikannya itu, bakar dulu saja. Nanti kita klembali sudah
matang, hehe.”
“A-aku.. takut mas. Apakah mas tidak melihat keganjilan dan aneh
dengan ikan-ikan ini dari kemarin mas?”
“Sudahlah, biasa saja.”
“Ini tidak biasa mas.”
“Aku akan kembali setengah jam dari sekarang Bay.”
Aku mengangguk, terpaksa.
Malam mulai berkumandang, kini deburan ombak berasa begitu menakutkan
bagiku. Api ungun menyala-nyala, aku hanya mematung didepan api. Lalu tak
terasa begitu lama Mas Ujang tak juga kembali. Perutku keroncongan. Aku sudah
tak kuat. Ikan ini akhirnya aku bakar. Tak terasa aku menikmatinya sedikit demi
sedikit sembari menunggu mereka bertiga datang. Angin sepoi berubah menjadi
menakutkan, awan gelap menutup bintang
gemintang malam hari. kilat menyambar-nyambar, kemudian petir menggelegar
keras. Hujan turun dengan begitu deras. Tubuhku kaku, entah kenapa aku tak bisa
melangkah kedalam tenda. Tubuhku kuyub akan guyurannya yang deras, aku tak bisa
berpikir lagi. Mati dalam ketakutan. Api lalu mati. Tak bersisa. Aku tesentak
kaget, ribuan burung-burung merak muncul dari arah kondang menuju bibir pantai,
aku kelimpungan sendiri. Bukankah burung-burung itu sudah tidak ada lagi
disini. Aku terbuai oleh ketakutan dan rasa tak percaya. Suara ombak dan
gelombang air laut itu menggelegar semakin kencang, hingga riak-riaknya sudah
sampai di depan mataku, tak pernah pasang setinggi ini. Burung-burung itu menutupi
kegelapan dengan suara bisingnya dan kepakan sayap yang bertautan. Berkumpul
membentuk pola yang tak beraturan, meskipun samar-samar terlihat seperti
tulisan yang tak bisa aku baca. Kemudian burung-burung itu turun dipinggiran
pantai menjadi satu berkerumun besar, perlahan berubah menjadi seorang putri
merak cantik yang bersayap, tidak. Ini terlihat seperti duyung yang bersayap
putih, begitu mempesona. begitu cantik, wajahnya ayu seperti Aura Kasih.
Matanya biru bercahaya nanar memandang tajam. Dia semakin mendekat, menari
dalam kegelapan dengan angin kencang. Tiba-tiba perutku membuncit biru, semakin
besar. Setiap lekukan putri merak bermata biru itu bergoyang menari mempesona,
perutku semakin membuncit biru. Lalu terasa leherku tercekik secara perlahan,
aku tak kuat, aku kelimpungan diantara pasir pantai. Semakin mempesona
tariannya cekikannya semakin menyakitkan, lalu muncul darah bercampur nanah
dengan cairan biru pekat berbau busuk muncul dari mulutku. Tariannya
menjadi-jadi. Aku tak kuat. Kemudian aku dilempar dengan tiga kepala yang aku
tak kuasa melihatnya, tiga kepala teman-temanku : Mas Ujang, Udin, dan Galih.
![]() |
Dan semuanya akan berakhir |
Tariannya semakin mempesona dan menjadi-jadi diantara lekukan tubuh
dan paras cantiknya, perutku membuncit biru hingga meledak mengeluarkan cairan
biru pekat berbau busuk bercampur nanah dan darah yang mengalir deras. Leherku
tercekik kuat. Mataku mendelik.
------------------------------------------------------
Lamongan, 5 Agustus 2014 | © khabib ansori
#Lastpost, Mari kembali ke rutinitas. Haha
@kahbibjawa | fb.com/khabibjawa | khabib-ansori.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment