Sunday, July 19, 2015

Obrolan Tentang Batu Akik




Saya kadangkala suka menyendiri di sebuah warung kopi, meskipun sedang ramai. Saya anggap sedang menyendiri karena pada beberapa saat sampai selesai saya hanya menyendiri, berdiam diri, lalu hanya berdiskusi dengan laptop butut saya. Tanpa banyak bicara. Sambil berusaha mengakses wifi (baca: waifai) yang akhir-akhir ini lemot.

Sudah bisa dimengerti, akhir-akhir ini warkop di berbagai sudut kota Lamongan, yang menjamur beberapa tahun terakhir seperti tiram di musim penghujan. Seperti galau dimusim kawin, dimana banyak undangan pernikahan dari seorang kawan namun kita tak segera menyusul. Bahkan untuk merencanakan saja belum *calon mana calon*. Saya heran, warkop-warkop itu bersaing loh, tapi saya rasa tak ada yang benar-benar  memperbaiki kualitas, terutama di akses wifi yang seringkali masih lemot. TV Kabel yang tak rutin menyetel pertandingan besar liga-liga terbaik eropa. Pelayanan, dan kopi yang disajikan tak ada yang istimewa, hampir sama semua.

Paling-paling beberapa inovasi memakai konsep angkringan, atau ngapung diatas tambak, ada juga sedikit mirip kafe. Yah, lumayanlah! Saya cuma kurang suka dengan warkop yang buka hanya di malam hari, kemudian mempekerjakan perempuan muda sebagai pengaduk kopi. Meskipun tidak ada keterkaitannya dengan hal-hal yang tidak senonoh, tetap saja saya kurang suka. Alasan utamanya :tidak bisa dipakai tentu karena tak ada akses wifi.

Dan, kemarin hari. saya kebetulan ngopi (meskipun pesannya es susu, nyebutnya tetap ngopi) tidak sendiri, tapi bersama seorang kawan. Dan ketika dengan seorang kawan, kadang saya merasa sungkan ketika mau menyendiri dengan laptop butut saya. Lalu, terjadilah obrolan, tanpa topik yang khusus. Pembicaraan menjadi ngalur-ngidul tak jelas.

“Kenapa sih batu akik, sekarang menjadi populer?”

Saya tak menjawab. Selain karena tak tahu menahu, juga karena malas bahasnya.

“Apa kerennya coba? Mereka tak lebih baik dari para pengkoleksi mantan.” Cercah kawa saya.

“Heh? Ha ha” Lalu saya sedikit tertawa.

Dia mengepulkan asap rokoknya, saya menahan napas sejenak.

“Barangkali karena semakin banyak orang yang percaya bahwa akik membawa keberuntungan bagi tangan-tangan mereka dalam mencari rezeki.” Sahutku tiba-tiba. Entah, saya keseringan menonton film apa, hingga hal-hal yang berbau klenik itu masuk dalam pikiran bodoh saya.

“Kalau menurut saya ini hanya semacam barang musiman saja. Maklum, orang-orang kita kagetan danlatah! Sukanya ikut-ikutan saja.”

Ah, benar juga analisa kawan saya itu. Saya yakin, barangkali paling banter 2 tahun, sebelum akhirnya batu akik akan kembali ke keadaan normal lagi, dan dengan harga yang wajar lagi. Saya kira. Ini hanya semacam fenomena Louhan atau Bunga Gelombang Cinta beberapa tahun yang lalu. 

2 comments:

  1. Baru detail batu akik setelah baca ini :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Detail apanya? padahal saya tidak menjelaskan apa-apa tentang batu akik. Ndak usah sok uda baca, haha :D

      Delete