Wednesday, August 12, 2015

KOPI, SEMACAM PACAR BAGI KESENDIRIAN


pertama kali diterbitkan di situs minumkopi.com


Saya tidak tahu sejak kapan kopi dan rokok adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Seolah kopi dan rokok adalah pasangan sah menurut mereka. Ada lagi, kopi dan pahit adalah dua hal yang tidak dapat diabaikan, semakin pahit kopi, semakin baik selera kopi seseorang. Kopi manis dengan tambahan gula adalah kopinya orang kemarin sore. Saya tidak membayangkan, apalagi kopi sachet dengan tambahan es batu. Haha, barangkali itu kopinya orang kemarin pagi. Pun, ada yang bilang bahwa kopi adalah teman terbaik bagi sebuah pertandingan sepakbola.
Saya bukan pegiat minum kopi, selera kopi saya sendiri buruk, seburuk selera musik saya. Bagi saya kopi itu: sendiri. Kopi itu tidak berpasangan. Kopi, bagaimana pun jenis dan cara penyajiannya, adalah kopi. Entah itu pahit, manis, dalam keadaan panas atau dingin, hanyalah selera belaka.
Dan, kopi tidak melulu tentang pertandingan sepakbola, kopi adalah teman terbaik saat membaca, menulis, mengerjakan tugas, berdiskusi, ataupun sekadar melamun, atau bahkan kopi adalah teman yang baik untuk beribadah.
Kopi yang pertama kali saya minum adalah kopi hitam bikinan emak, maksud saya sisa kopi bapak yang dibikin emak. Setiap pagi di meja selalu tersedia segelas kopi bikinan emak buat bapak, biasanya bapak selalu menyisakan sedikit dan itu yang saya minum. Atau seringkali saya yang mendahului bapak meminumnya sebelum saya berangkat sekolah.
Lambat laun ketika SMA, di antara remaja-remaja tanggung yang sok belagu itu terdapat diri saya yang sudah sesekali nongkrong di warung kopi, berkat bujukan ajakan teman-teman. Sialnya saya tak pernah bolos sekolah demi secangkir kopi, yang pada akhirnya justru dibanggakan teman-teman selepas lulus SMA dan jadi bahan cerita seru untuk para gadis. Bolos sekolah dan cangkruk di warung kopi adalah cerita seru, kalian boleh mencobanya. Setidaknya setelah lulus SMA saya semakin sering nongkrong di warung kopi. Agenda keluar rumah adalah nongkrong di warung kopi. Warung kopi sudah menjadi jujukan pertama yang tidak boleh ketinggalan.
Sejak saat itu saya sudah akrab dengan kopi. Kopi sudah menjadi sahabat yang baik selepas penatnya pekerjaan, masa-masa sulit pengangguran, menumpuknya tugas, dan penghangat hubungan yang baik dengan teman-teman lama.
Bisa dibilang, kopi sudah semacam pacar bagi kesendirian. Sehingga, bagi saya, kopi itu sendiri. Kopi itu tidak berpasangan. Tidak ada ceritanya kopi itu harus berpasangan dengan rokok. Saya memang bukan perokok, bukan karena alasan kesehatan lebih ke alasan ekonomi. Tidak ada jatah uang buat sedot-sedot asap begitu. Saya juga sudah kebal dengan nyinyiran teman,
“Ah, kamu. Ngopi kok nggak ngerokok!”
Ataupun abaian para tuan rumah, “Kamu nggak ngerokok ya Le, sebentar saya buatkan teh hangat.” Hingga kemudian hanya saya sendiri yang minum teh hangat di antara para tamu laki-laki yang sudah dihidangkan kopi hitam. Menyedihkan. Hiks.
Tidak hanya disitu. Kemudian saya juga sudah kebal dengan nyinyiran para pecinta kopi (katanya). Karena kopi hitam yang saya pesan tidak sepahit kopi teman saya. Bagaimana nggak mau pahit, teman saya ini menyedihkan sekali pesan kopi hitam tanpa gula. Itu namanya bukan pecinta kopi alih-alih menguntungkan pemilik warung karena tidak usah membeli gula. Haha.
Bagi saya kopi tidak harus hitam dan pahit. Ketika cuaca panas, saya bisa pesan kopi sachetan dengan gelas jumbo penuh es batu. Tidak melulu kopi hitam (manis). Tapi, sesekali saya juga pesan kopi hitam tanpa gula barangkali ketika cuaca hati sedang sedih. Sehingga kemudian saya bisa bersyukur, bahwa hidup ini sesekali memang pahit dan kita harus menghadapinya.
Sampai di sini, seperti diawal, bagi saya kopi bagaimanapun jenis dan cara penyajiannya adalah tetap kopi. Bergantung bagaimana pribadi, budaya, pengalaman dan selera masing-masing orang. Dan kopi tetaplah sendiri, masing-masing orang berhak mencumbunya. Setiap orang berhak memasangkan dengan apa saja termasuk dengan kesendirian tersebut.
Ah, entahlah. Semoga saya bukan perusak arti secangkir kopi.

0 komentar:

Post a Comment