Tuesday, August 25, 2015

Berdamai dengan Secangkir Kopi




ADA banyak cara untuk menyelesaikan masalah, dan berdamai adalah satu-satunya cara yang menyenangkan, meskipun terkadang tampak tidak adil menyebalkan. Berdamai adalah cara agar saya dan anda bisa untuk sepenuhnya ikhlas. Ya, tentu saja berarti berdamai adalah langkah awal untuk mengikhlaskan. Suatu hari, kawan saya, Savic –entah mengapa wajahnya selalu menampakkan keprihatinan, saya harap bukan karena itu dia betah menjomblo. Haha. Savic punya cara sendiri untuk berdamai, ketika sedikit ada ketegangan dengan seorang teman. Savic mengajaknya menuju warung kopi kemudian mentraktirnya secangkir kopi, obrolan sedikit terjadi hingga  semakin lama obrolan semakin hangat kemudian ketegangan berakhir, mereka berdamai.

Lain halnya Savic, kawan saya lainnya Darto, dengan tingkahnya yang ganjil. Bukankah sudah saya bilang, waras itu gila yang terkontrol. Dan masalah utamanya Si Darto ini sulit sekali mengontrol kegilaan, sehingga tingkahnya menjadi sedemikian rupa. Terkadang saya syedih melihatnya. Suatu ketika dia mengajak saya menuju warung kopi, disana dia bercerita dengan sedikit agak marah tentang kejadian-kejadian dan masalah di tempat kerjanya, pada cangkir pertama dia masih menggerutu kesal sekali, pada cangkir kedua dia agak tenang dan tersenyum, lalu pada cangkir ketiga dia sudah berdamai dengan kondisi di tempat kerjanya. Tawa dan canda lepasnya terlihat lagi, meskipun terkadang sedikit ganjil.

Sementara Salman, lelaki yang mengidam-idamkan brewok ini adalah musuh bebuyut saya dalam bermain bola Playstation dan PES. Tak pernah ada yang mau kalah diantara kami, sehingga jika sudah bermain, kadang kami lupa waktu –dan umur. Dalam bermain, psywar selalu kami lancarkan sehingga kekalahan akan semakin menyakitkan. Pada hari-hari tertentu saya kalah, dan pada hari-hari lainnya dia sering kalah. Karena saking seringnya bermain, saya kemudian mengerti tabiat dari Salman. Ketika pertandingan menjadi begitu seru dan menegangkan dia akan berkali-kali menyulat rokok, pada kepulan-kepulan asap tersebut dia mencoba meredakan ketegangan. Kemudian jika pertandingan berakhir, pada kekalahannya secangkir kopi didepan kami menjadi seperti air putih yang diteguk bringas untuk meredakan rasa haus kekalahan. Kulihat hari ini, secangkir kopi milik Salman tandas lebih cepat, sementara secangkir kopi saya utuh belum tersentuh. Saya menang telak. Pada secangkir kopi tersebut Salman berusaha berdamai dengan kekalahan.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengalami masa-masa sulit –tentu saja bagi diri saya sendiri. Cita-cita yang tandas, menjadi seorang legal jobless yang menyedihkan, ditambah penyakit kebodohan yang serasa menghancurkan semuanya, saya adalah lelaki tak berpengharapan yang kehilangan arah dan tujuan. Setiap hari saya menjalani malam-malam yang panjang dengan seorang sahabat di warung-warung kopi. Dalam satu malam berpindah-pindah warung kopi menjadi biasa, bisa 2 sampai 3 warung kopi yang berbeda. Dan Setiap malam pada cangkir-cangkir kopi tersebut saya tumpahkan rasa kesal saya pada Tuhan.

Anehnya, pada cangkir-cangkir kopi tersebut serasa mendamaikan sekali. Semakin hari seolah perasaan saya membaik, saya mengalami perenungan dalam setiap cangkir-cangkir kopi tersebut. Tiba-tiba saya mulai merasa malu lagi ketika dengan sengaja meninggalkan sholat. Serasa tak ada gunanya pula kesal dengan Tuhan. Kemudian saya mulai sedikit demi sedikit berani berharap. Saya mulai berpengharapan baik pada Tuhan. Dan sepertinya, berpengharapan baik pada Tuhan adalah serendah-rendahnya level iman seseorang. Bayangkan, untuk level iman terendah saja selama itu saya tidak punya. Ah. Di warung-warung kopi tersebut saya melihat berbagai macam orang dengan latar belakang dan masalah dalam hidupnya. Dik, saya sadar hidup ini tidak selalu lurus seperti status jomblo saya. Masalah hanyalah sebagian kecil dari kehidupan yang harus dihadapi.

Karena pada akhirnya. Apapun masalah dalam hidup anda, baliklah sama Tuhan. Baliklah sama secangkir kopi anda. Dan baliklah sama mantan. Berdamailah.



0 komentar:

Post a Comment