MAS MARNO, perawakannya memang terbilang kurus , wajahnya pas-pasan.
Mungkin jauh lebih ganteng dan ngegemesin di usia balitanya dulu. Kumisnya rapi
tercukur. Usianya memang baru 31 tahun, namun pengalamannya dalam menggembala
bebek (eh, yang benar menggembala, memelihara, menernak, atau membudidaya bebek
*duh) yang jelas tidak bisa dikesampingkan. Dia jagonya. Rumahnya melipir di
pemantang sawah yang luas. Setiap hari, dia bangun pagi-pagi sekali saat adzan
subuh dari masjid kampung mulai terdengar, pelan, merambat kerumah sederhananya.
Pagi-pagi tersebut, dia mempersiapkan segalanya untuk sekedar mengerjakan apa
saja yang bisa dikerjakan di sawahnya yang lumayan luas. Sebelumnya dia tak
pernah telat memastikan bebek-bebek di kandang belakang rumahnya sudah
terpenuhi asupan gizinya, lalu melepasnya keluar kandang, dihitung satu, dua,
sampai habis sudah bebek-bebek di kandangnya. Seratus. Dilihatnya bebek-bebek tersebut
berbahagia berpencar bebas disegala sudut sawah-sawahnya. Mungkin, sebahagia anak-anak sekolah ketika
kelas tidak ada gurunya.
Kopi dan rokok, serta sepiring kecil singkong rebus menjadi sebuah
kenikmatan disuatu pagi yang penuh berkah, dinikmati diberanda rumahnya. Kemudian
terlihat jemarinya lancar menggeser-geser gadged ditangan kanannya, sebuah
status facebook sudah terpostingkan. Malu-malu dia memasukkan kembali gadged
tersebut kedalam saku, lalu berganti menenteng pacul. Melesatlah Marno kesawah.
Jika kopi dan rokok adalah teman melamunku tentang masa lalu, bebek-bebek dan sawah perjuanganku masa kini, maka KAMU adalah kepastian bahagianya aku di masa depan. Iya, kamu!
Mas Marno, 34 menit yang lalu. “Haha. Anjrit!” batin Budi Ketika pagi-pagi
melihat status facebook Mas Marno tersebut berkeliaran diberandanya. Budi (28
tahun, teman kampung Mas Marno) merasa ingin segera menceburkan muka Mas Marno
kedalam tumpukan damen – sisa potongan tanaman padi yang sudah diambil gabahnya.
Lalu Budi hanya memberikan sebuah komentar. “Dasar bujang lapuk!”. Siang
menjelang, ketika waktu dhuhur sudah sampai, Mas Marno balik kembali kerumah. Setelahnya
ada saja yang dikerjakan dirumah, memotong-motong kayu bakar, memperbaiki
kandang bebek hingga mengganti genteng bocor. Hingga suatu sore, ketika siluet
senja menghamburkan keindahan di persawahan. Ketika anak-anak kampung pulang
dari jam bermainnya, dan ibu-ibu sudah menor cantik dandan disetiap beranda
rumah. Ketika itu pula komentar status Mas Marno hampir 20 lebih, dengan jumlah
like sebanyak jumlah kumis dibawah hidungya, mungkin. Namun ketika itu adalah
saat Mas Marno harus kembali ke sawah, mencari bebek-bebeknya dan menggiringnya
pulang ke kandang. Sesampainya didepan kandang, dia tak pernah lupa menghitung
kembali jumlah bebek-bebeknya memastikan bahwa tidak satupun bebek yang diajak
kawin lari oleh kambing tetangga, misalnya. Satu, dua, tiga, …hingga seratus. Lengkap.
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum, sebuah kebahagiaan sederhana.
Sebelum dia membersihkan diri dan beranjak keperaduan malam. Mas Marno
masih sempat membuat sebuah status, sebelum memastikan sebuah istirahat malam
yang berkualitas.
Ketika kamu berhasil memastikan bahwa jumlah bebek-bebekmu tidak jauh lebih banyak dari jumlah cintamu untuknya, itu cukup. Bahagia itu sederhana.
Begitulah,
keseharian Mas Marno.
Hari-hari seperti itu tak bosan dilakukan oleh bujang haus cinta
tersebut. Hingga suatu hari terjadi sebuah ketidakbiasaan. Suatu kehilangan
yang menyedihkan cenderung menyebalkan. Ceritanya, ketika Mas Marno kembali ke
sawah untuk menggiring bebek-bebeknya kembali kekandang, didepan kandang
seperti biasa Mas Marno menghitung bebek-bebeknya. Satu, dua, tiga …sembilan
puluh sembilan.
“Sera.. Hah? Mana yang keseratus, mana?”
Mukanya tiba-tiba pucat, panik dan kelabakan. Sudah seperti kehilangan
anggota keluarga dalam musibah QZ8501 saja. *mariberdoauntukparakorban* Dia
langsung lari tunggang langgang kesawah, matanya mengawasi berputar-putar mencari
kemana hilangnya satu bebek binaanya tersebut. Satu menit, satu jam, hingga
beberapa waktu tidak juga ketemu. Seluruh wilayah sawahnya sudah dijelajahi
sampai lemas.
“Kambing tetangga mana yang tega mengajak kawin lari bebekkuuu? Haah..”
teriak Mas Marno.
Kemudian, keajaiban datang terdengar pelan bunyi, “cepok..cepok” lalu
dia mendekat kearah tersebut, semakin jelas suara itu berasal dari bilik bambu
disebuah sawah milik tetangga kampungnya. Wah, apakah kau bersembunyi disana
kawan, baiklah.
Mas Marno mendekat, hingga dia sampai pada bilik bambu tersebut. Dia mengintip
pelan disela-sela bilik tersebut, namun yang terjadi adalah Mas Marno malah
ketawa. Wajahnya menjadi begitu sumringah. Dia mengintip, ketawa lagi,
mengintip dan ketawa lagi. Haha. Ssstt.
***
Mungkin ketika itu umurku baru 7 atau 8 tahun. Saya lupa tepatnya. Kampung
kami sedang ada hajatan bersama, sehingga pemuda-pemuda remaja masjid dan anak-anak
kecil penglanjut anggota remas seperti saya ikut nimbrung didalam dan beranda masjid.
Tentu saja setelah acara selesai, kami berkumpul untuk menghabiskan sisa
makanan dan bercerita sana-sini, bercanda, saling ledek hingga saling nge-bully.
Dan korban, bullying bercandaan adalah biasanya anak-anak kecil seumuran dengan
saya. Saya melihat sekeliling, ada yang sudah tertidur dengan berbagai posisi
di beranda masjid, dan posisi yang memalukan untuk diceritakan adalah nungging.
Ada yang bermain tebak-tebakan abjad,
“tentang buah-buahan ya?”
“J! Jeruk, juwet, juren, Hahaa” (kalian tahu permainan ini, ah.. if
you know what I mean!)
Adapula kami, melingkar mendengarkan para senior remaja masjid
bercerita dari yang serius sampai bercanda, dan tampak begitu koplak. Sebut saja,
Nurdin. Pemuda usia 17 tahun ini, tidak bisa dikatakan jelek dan yang
membuatnya menarik adalah bacaan Al-Qurannya bagus. Namun, diluar itu dia remaja
yang slengekan dan suka bercanda, ekspresi mukanya seolah sudah didesain untuk
mengundang tawa. Saya yang masih kecil, diam-diam mengamati dia bercerita. Ekspresinya
semakin menjadi-jadi ketika kami memperhatikannya lebih. Kadang begitu serius,
kemudian tertawa. Intinya, kami terbawa kedalam ceritanya. Setelah sebelumnya
perutku melilit dibuat terpingkal-pingkal dengan ceritanya mengenai kisah abu
nawas yang menangkap kentut. Sekarang kami dibuat hanyut akan ceritanya. Sungguh
saya tidak tahu apa yang dilihat Mas
Marno dibalik bilik bambu tersebut.
“Cepok, cepok, Mas Marno mengintip lalu tertawa” lanjutnya bercerita.
Dan lagi, “Cepok..cepok, mengintip kemudian tertawa lagi. Haha.”
“Hayo tebak. Apa coba yang dilihat oleh Mas Marno?”
Saya termangu, bingung, tidak tahu. Pemikiran bodoh saya, saya kira
suara bebek tidak ada yang seperti itu. cepok-cepok. Itu suara apa coba. Saya yang
bingung, kemudian hanya mati penasaran.
“Sudah, tidak ada yang tahu.”
Kami menggeleng, ada yang mendamprat, “Suara opo iku cuk, gak ngerti
aku. Atek mari nyawang ngguya-ngguyu pisan.”
Muka Nurdin kembali mendadak serius, wajahnya seakan mau memberitakan suatu
kejadian luar biasa, dia mendekatkan kepalanya kearah kami dalam lingkaran, “Suara
perempuan mencabuti jemb*t. Hahaha.”
Kemudian tawa menggelegar.
Bayangkan, saya yang masih kecil, polos dan lugu mendengar kalimat
yang tidak senonoh itu, memang saya tidak tahu apa-apa tapi saya tahu dan juga
tertawa. Haha. Dewasa ini saya berpikir, masih dengan pemikiran bodoh saya, saya
kira tidak ada suara yang lebay sampai segitunya oleh aktifitas tersebut. Entahlah.
Haha.
--------------
--------------
--------------
Sebenarnya cerita ini, perlu di SKIP. Dengan himbauan untuk17 tahun
keatas. Haha.
Catatan : Suara cepok-cepok adalah suara asli pencerita dan sengaja tidak saya
ganti dengan kata atau jenis suara apapun lainnya, demi menghormati kesintingan
dan mungkin kebodohan pencerita.
0 komentar:
Post a Comment