Dua minuman yang sangat lekat sekali dalam keseharian umat manusia
sepanjang generasi, saya kira. Kopi adalah minuman yang lazimnya berwarna hitam
dengan aroma menggodanya. Sementara teh yang berasal dari tumbuhan teh atau
dalam bahasa ‘susahnya’ camellia sinensis,
adalah minuman yang diseduh dan dicampur dengan puyer 78 ketika saya sakit kepala
dan panas badan dulu, sewaktu masih kecil. Sejarah mencatat bahwa minuman kopi
sudah ada sejak 3.000 tahun yang lalu pertama kali ditemukan oleh bangsa
Etiopia di benua Afrika. Lain halnya dengan kopi, minuman teh pertama kali di
temukan di dapur rumah ibuk saya sejak.. entah kapan. Jika biji kopi ada jenis
Arabica dan Robusta maka daun teh juga ada jenis : teh oolong, teh merah,
teh kuning, teh hijau. Cara mendapatkan dua minuman tersebutpun bisa
dengan beraneka macam, misalnya : suguhan gratis, ditraktir teman, bayar dan prabayar.
Saya sendiri tidak bisa dikategorikan penggemar berat kopi tapi jujur
saya penyuka kopi. Saya juga bukan pure
pecinta teh, tapi saya tidak bisa jauh darinya terutama dalam hidangan dingin,
iya es teh. Entah sejak kapan ada istilah kopi adalah minuman bagi para
perokok. Ini adalah sesuatu yang kurang menyenangkan bagi saya. Jadi begini
ceritanya, dalam beberapa kesempatan ketika berkunjung kerumah teman atau
kerabat kemudian tetamu pria-pria ini menjadi satu. Maka jamuan paling afdol
adalah minuman kopi dan tiba-tiba saya menjadi beda sendiri, teh hangat. Mereka
lebih dulu berargumen karena saya bukan perokok jadi saya tidak minum kopi.
Begitu! Padahal belum tentu begitu kan? Peminum kopi belum tentu perokok, tapi
perokok sudah pasti peminum kopi. Begitu rumusnya, ini sudah valid tidak perlu
diuji lagi. Percayalah! Padahal sebenarnya Pengenya kan? Kalau kopi ya kopi
semua, teh ya teh semua, biar samaan, biar seirama dan obrolan menjadi se-frekuensi.
Namun sudahlah, saya masih bersyukur dan berterima kasih setidaknya minuman
yang disuguhkan kepada saya bukan cukrik.
Kemarin hari, ketika mau main dan berkunjung ke rumah seorang kawan, agak
jauh memang, sepanjang perjalanan saya terjebak dengan hujan, saya memang benar
suka hujan tapi dalam keadaan tertentu saya kurang menyukai kehadirannya. Bukan
karena hujan seringkali menjadikan rindu yang bernostalgia mesra dalam dada,
lebih karena saya belum siap saja dengan kedatangannya. Tasku yang tidak ada
anti airnya, bisa-bisa kuyub isinya : laptop terutama. Saya tidak membawa jas
hujan yang setidaknya bisa menahan air hujan tidak membasahi pakaian yang
kemudian bisa membuat gigil tubuh kurus saya. Pada akhirnya saya memang belum
siap dengan datangnya rindu hujan, sudah tidak terhitung berapa kali
saya berteduh mencari cinta yang lain tempat seadanya paling tidak biar
tidak ketiban rindu hujan secara langsung.
Langit mendung, awan hitam berkelabung dalam sepanjang jalan, dan
disana terdapat hujan mulai dari rintik, gerimis sampai benar-benar hujan
lebat. Pinggir jalan, bawah pohon, beranda toko, sampai dua kali saya
terperangkap di warung kopi, lumayan lama, obrolan dengan seorang kawan menjadi
ngalur-ngidul sampai secangkir kopi menjadi
dingin, segelas teh hangat habis dan hujan reda.
terima kasih kopi, terima kasih teh.
“Oiyah, Bib! Kamu pernah benar-benar tidak habis saat minum teh atau
kopi?”
“Pernah!”
“Kapan?”
“Pas di warung kopi, lalu tahu saya lupa membawa dompet.”
“Lalu, dengan tidak habisnya kopimu ini kamu sekarang juga tidak
membawa dompet?”
*menahan tawa*
“Ngomong aja, minta dibayarin!”
*ngakak*
0 komentar:
Post a Comment