Thursday, February 05, 2015

Kau, Aku dan Sebuah Diskusi dalam Hujan

Kau, Aku dan Sebuah Diskusi dalam Hujan



Aku yang tak sempat mengenalmu secara lebih, aku yang memang tak sempat mendapatkan bimbingan dan nasehat-nasehatmu secara langsung. Aku berjalan disini, meski tanpamu pada akhirnya aku akan sampai juga. Bukankah begitu? Meskipun jalan panjang masih akan ku tempuh, aku tak mengapa, aku tak pernah mengelukan tak adanya dirimu disampingku, tak pernah. Aku sudah cukup dewasa.

Ah, iyah barangkali aku pernah membayangkan jika disini kau menemaniku.

Kemarin hari hujan, aku bersamamu di beranda rumah sedang menikmati secangkir kopi buatan ibu. Tergeletak beberapa batang rokok, sayangnya aku tak merokok, ibu tak suka aku merokok. Meskipun kau juga tak suka jika aku merokok, tapi aku tahu kau tak pernah melarangnya. Ah, nggak setelah beranjak dewasa aku memutuskan untuk tidak merokok, lalu kau tersenyum bangga padaku. Kau berbicara panjang lebar, bercerita kepadaku, sesekali memberiku nasehat dan sedikit masukan. Dan aku mendengarkannya sambil tersenyum dan tertawa, terkadang juga sambil menyela pembicaraanmu. Kita juga sempat berdebat urusan bola, aku pengagum cristiano ronaldo sementara kau tetap dengan lionel messi-mu. Aku dengan arsenal-ku dan kau dengan manchester united-mu. Urusan pulitik, aku tidak terlalu pandai namun aku sengaja bersebrangan denganmu, terkadang kita mendebatkannya terlalu lucu. Analisamu yang dalam aku lawan dengan analisaku yang dangkal serupa lelucon.

Hujan masih deras disana, kita mengamatinya dengan perasaan menyenangkan dan bersahabat. Aku menyeruput kopiku, sementara kepulan rokokmu seperti berada pada puncaknya. Aku memandangmu sebentar, kemudian mendengarkan ceritamu kembali, kali ini kau memaksaku berfikir tentang kehidupan, tentang nasib anak-anak manusia dimuka bumi. Tentang impianku dan tentang impianmu yang belum tercapai. Sejenak kuintip kedalam rumah, ibu dan adik-adikku sedang sibuk didepan layar tivi. Sementara sesekali ibu, berjingkat ke dapur dengan urusannya. Melihatku memandang kedalam, kau tersenyum kearahku. Kemudian terdiam beberapa saat. Kau menatapku, seolah mempersilahkan aku untuk bercerita.

Hujan sudah tidak deras lagi. Kupandang beberapa tanaman didepan rumah yang basah, lalu kuawali ceritaku. Hingga entah mengapa aku berucap, menanyakan sesuatu kepadamu, “Bagaimana pendapat bapak tentang perempuan?”

Senyumnya simpul, mengangkat kumisnya yang tercukur rapi.

Aku tak mendapatkan jawaban. Namun kurasa aku mendapatkan lebih dari sekedar jawaban. Kau hanya tertarik dengan perempuan karena kecantikannya, barangkali kau masih bocah tengil yang jika serupa sekolah SMA kau baru kelas satu, dan kelas satu berarti tidak mungkin akan segera lulus ujian karena belum kelas tiga. Barangkali memang begitu masih kelas satu, yang hanya melihat dan tertarik dengan perempuan karena kecantikannya. Namun, itu wajar-wajar saja. Bukankah memang lelaki itu mudah tertarik secara visual sementara perempuan, ah kau pasti tahu? Haha. Itulah sebabnya aku menjadi penggombal. Eh. Kau juga. Haha! Lalu, kau akan menaiki yang namanya kelas dua, jika kau bisa tertarik dengan perempuan karena akhlaknya, karena tutur dan tingkahnya yang membuatmu terpikat bukan lagi urusan kecantikan. Bagaimana dengan kelas tiga, kau bahkan tak perlu melihatnya, tak perlu tahu siapa dan bagaimana dirinya untuk bisa tertarik, cukup dengan tahu bahwa dirinya adalah seorang yang taat beragama maka kau bisa tertarik dengan sendirinya. Kelas tiga memang tidak mudah, tapi bukankah kau juga ingin segera lulus. Sementara untuk lulus, terkadang seseorang akan mempunyai kriteria sendiri. Dengan nilai biasa-biasa saja atau dengan nilai yang memuaskan. Tapi ingatlah, seorang perempuan adalah seseorang yang mendukungmu : lelaki. Seseorang yang ingin lelakinya menjadi lelaki nomer satu di dunia, perempuan yang hanya ingin tampil dibelakangmu bukan yang berdiri tegak mengunggulimu, bukan. Sementara lelaki adalah seseorang yang dalam perjuangannya adalah seseorang yang hanya ingin membahagiakanmu : perempuan. Bukankah lelaki yang sukses adalah lelaki yang berhasil membahagiakan perempuannya. Sementara perempuan yang sukses adalah perempuan yang berhasil mengandeng lelaki sukses.

“Lalu, kamu kelas berapa sekarang?”

“Barangkali aku masih kelas satu, bapak! Haha.”

Kau tertawa mengejek sekan bilang begini “sedewasa ini?”. Tak apalah terkadang semuanya itu tampak subjektif. Tapi kau benar juga, bagaimana kau berada di kelas dua atau tiga tanpa kelas satu lebih dulu. Haha. Ah, entah! Namun, kau bisa saja tertarik dengan perempuan karena kecantikannya lalu kau menganggap akhlak dan agamanya sudah baik, bisa saja. Kau juga bisa saja tertarik karena akhlaknya kemudian melihat ada sebuah kecantikan dari sana, dan soal agama sudah kau anggap baik, bisa saja. Juga bisa saja, kau tertarik dengan agamanya lalu kau bisa melihat akhlak dan kecantikan dari ketaatanya tersebut. Bisa.

“Soal agama boleh saja bukan hal pertama, namun ingat agama adalah penentu utama.”

Maksudnya, kau boleh tertarik dengannya karena kecantikan, kebaikan, akhlak dan tetek bengek lainnya namun ingat penentu utamanya lihat agamanya, jika menurutmu agamanya sudah baik, kau bisa melanjutkannya dengan mantap. Sementara jika kau anggap agamanya belum cukup baik, kau boleh mundur dan melihat yang lain. Soal agama juga subjektif, ada yang bilang sholat lima waktu sudah baik, ada yang bilang sholat lima waktu + sholat sunnah lainnya dengan rutin tilawah baru baik. Adapula yang bilang, asal sesekali masih ingat sholat itu baik. Ini soal seberapa baik agamamu juga. Soal subjektif yang satu ini, kau juga harus objektif : mau mendengarkan pendapat orang-orang dekatnya tentang dirinya.

“Bapak, mengapa urusan perempuan saja begitu rumit?”

“Kenapa tak kau sederhanakan saja?”

“Caranya?”

Kau tersenyum, tak memberikan jawaban. Ah, bapak yang begitu tegas dan gagah, ternyata bisa begitu lembut denganku ketika berdiskusi seperti ini, bahkan dengan adik-adikku dan ibu tentunya.

Hujan mulai reda, tinggal beberapa rintik pelan yang turun. Ibu keluar menemui kami, mengambil gelas kopi kami yang sudah habis. “Pak! Mas, ayo masuk ajak adik-adikmu makan.” Aku mengangguk setuju, kelihatannya perutku juga menyetujuinya. Bapak tersenyum berdiri melangkah sambil masih berbicara, ”waktu juga bisa sangat subjektif! Aku tahu kau terlalu menunggu dan memikirkannya, itu yang menjadikannya tampak lama.”

“Bukankah waktu akan berasa terlalu lama jika dibuat untuk menunggu.” Lanjutnya. “Cukup perbaiki diri dulu, lalu katakan jika sudah waktunya.” Tutupnya.

Mungkin aku semakin tidak tahu, aku perlu cukup waktu untuk mencernahnya.  Hujan sudah benar-benar reda. Tanah basah dan wanginya yang khas. Udara setelah hujan dan suasanyanya yang istimewa. Aku disini mendiskusikan semuanya denganmu, kulihat rumput yang tumbuh tak terawat diatas tempatmu, serta nisan yang mulai usang. Ah, maafkan anakmu yang seringkali lupa mengirimkan doa kepadamu. Sungguh maafkanlah.

Aku disini, berdoa untukmu.

Aku disini, merebut kemenanganku, menerjang segala kelemahanku, menerobos kelebihanku, membangkitkan segala potensi, dan memperjuangkan mimpi-mimpi. Aku disini pewaris tunggal harapanmu.





0 komentar:

Post a Comment