Aku yang tak sempat mengenalmu secara lebih, aku yang memang tak
sempat mendapatkan bimbingan dan nasehat-nasehatmu secara langsung. Aku
berjalan disini, meski tanpamu pada akhirnya aku akan sampai juga. Bukankah begitu?
Meskipun jalan panjang masih akan ku tempuh, aku tak mengapa, aku tak pernah
mengelukan tak adanya dirimu disampingku, tak pernah. Aku sudah cukup dewasa.
Ah, iyah barangkali aku pernah membayangkan jika disini kau
menemaniku.
Kemarin hari hujan, aku bersamamu di beranda rumah sedang menikmati
secangkir kopi buatan ibu. Tergeletak beberapa batang rokok, sayangnya aku tak
merokok, ibu tak suka aku merokok. Meskipun kau juga tak suka jika aku merokok,
tapi aku tahu kau tak pernah melarangnya. Ah, nggak setelah beranjak dewasa aku
memutuskan untuk tidak merokok, lalu kau tersenyum bangga padaku. Kau berbicara
panjang lebar, bercerita kepadaku, sesekali memberiku nasehat dan sedikit
masukan. Dan aku mendengarkannya sambil tersenyum dan tertawa, terkadang juga sambil
menyela pembicaraanmu. Kita juga sempat berdebat urusan bola, aku pengagum
cristiano ronaldo sementara kau tetap dengan lionel messi-mu. Aku dengan
arsenal-ku dan kau dengan manchester united-mu. Urusan pulitik, aku tidak
terlalu pandai namun aku sengaja bersebrangan denganmu, terkadang kita
mendebatkannya terlalu lucu. Analisamu yang dalam aku lawan dengan analisaku
yang dangkal serupa lelucon.
Hujan masih deras disana, kita mengamatinya dengan perasaan
menyenangkan dan bersahabat. Aku menyeruput kopiku, sementara kepulan rokokmu
seperti berada pada puncaknya. Aku memandangmu sebentar, kemudian mendengarkan
ceritamu kembali, kali ini kau memaksaku berfikir tentang kehidupan, tentang
nasib anak-anak manusia dimuka bumi. Tentang impianku dan tentang impianmu yang
belum tercapai. Sejenak kuintip kedalam rumah, ibu dan adik-adikku sedang sibuk
didepan layar tivi. Sementara sesekali ibu, berjingkat ke dapur dengan
urusannya. Melihatku memandang kedalam, kau tersenyum kearahku. Kemudian
terdiam beberapa saat. Kau menatapku, seolah mempersilahkan aku untuk
bercerita.
Hujan sudah tidak deras lagi. Kupandang beberapa tanaman didepan rumah
yang basah, lalu kuawali ceritaku. Hingga entah mengapa aku berucap, menanyakan
sesuatu kepadamu, “Bagaimana pendapat bapak tentang perempuan?”
Senyumnya simpul, mengangkat kumisnya yang tercukur rapi.
Aku tak mendapatkan jawaban. Namun kurasa aku mendapatkan lebih dari
sekedar jawaban. Kau hanya tertarik dengan perempuan karena kecantikannya,
barangkali kau masih bocah tengil yang jika serupa sekolah SMA kau baru kelas
satu, dan kelas satu berarti tidak mungkin akan segera lulus ujian karena belum
kelas tiga. Barangkali memang begitu masih kelas satu, yang hanya melihat dan
tertarik dengan perempuan karena kecantikannya. Namun, itu wajar-wajar saja.
Bukankah memang lelaki itu mudah tertarik secara visual sementara perempuan, ah
kau pasti tahu? Haha. Itulah sebabnya aku menjadi penggombal. Eh. Kau juga.
Haha! Lalu, kau akan menaiki yang namanya kelas dua, jika kau bisa tertarik
dengan perempuan karena akhlaknya, karena tutur dan tingkahnya yang membuatmu
terpikat bukan lagi urusan kecantikan. Bagaimana dengan kelas tiga, kau bahkan tak perlu melihatnya, tak perlu
tahu siapa dan bagaimana dirinya untuk bisa tertarik, cukup dengan tahu bahwa
dirinya adalah seorang yang taat beragama maka kau bisa tertarik dengan
sendirinya. Kelas tiga memang tidak mudah, tapi bukankah kau juga ingin segera
lulus. Sementara untuk lulus, terkadang seseorang akan mempunyai kriteria
sendiri. Dengan nilai biasa-biasa saja atau dengan nilai yang memuaskan. Tapi
ingatlah, seorang perempuan adalah seseorang yang mendukungmu : lelaki.
Seseorang yang ingin lelakinya menjadi lelaki nomer satu di dunia, perempuan
yang hanya ingin tampil dibelakangmu bukan yang berdiri tegak mengunggulimu,
bukan. Sementara lelaki adalah seseorang yang dalam perjuangannya adalah
seseorang yang hanya ingin membahagiakanmu : perempuan. Bukankah lelaki yang
sukses adalah lelaki yang berhasil membahagiakan perempuannya. Sementara
perempuan yang sukses adalah perempuan yang berhasil mengandeng lelaki sukses.
“Lalu, kamu kelas berapa sekarang?”
“Barangkali aku masih kelas satu, bapak! Haha.”
Kau tertawa mengejek sekan bilang begini “sedewasa ini?”. Tak apalah
terkadang semuanya itu tampak subjektif. Tapi kau benar juga, bagaimana kau
berada di kelas dua atau tiga tanpa kelas satu lebih dulu. Haha. Ah, entah!
Namun, kau bisa saja tertarik dengan perempuan karena kecantikannya lalu kau
menganggap akhlak dan agamanya sudah baik, bisa saja. Kau juga bisa saja
tertarik karena akhlaknya kemudian melihat ada sebuah kecantikan dari sana, dan
soal agama sudah kau anggap baik, bisa saja. Juga bisa saja, kau tertarik
dengan agamanya lalu kau bisa melihat akhlak dan kecantikan dari ketaatanya
tersebut. Bisa.
“Soal agama boleh saja bukan hal pertama, namun ingat agama adalah
penentu utama.”
Maksudnya, kau boleh tertarik dengannya karena kecantikan, kebaikan, akhlak
dan tetek bengek lainnya namun ingat penentu utamanya lihat agamanya, jika
menurutmu agamanya sudah baik, kau bisa melanjutkannya dengan mantap. Sementara
jika kau anggap agamanya belum cukup baik, kau boleh mundur dan melihat yang
lain. Soal agama juga subjektif, ada yang bilang sholat lima waktu sudah baik,
ada yang bilang sholat lima waktu + sholat sunnah lainnya dengan rutin tilawah
baru baik. Adapula yang bilang, asal sesekali masih ingat sholat itu baik. Ini
soal seberapa baik agamamu juga. Soal subjektif yang satu ini, kau juga harus
objektif : mau mendengarkan pendapat orang-orang dekatnya tentang dirinya.
“Bapak, mengapa urusan perempuan saja begitu rumit?”
“Kenapa tak kau sederhanakan saja?”
“Caranya?”
Kau tersenyum, tak memberikan jawaban. Ah, bapak yang begitu tegas dan
gagah, ternyata bisa begitu lembut denganku ketika berdiskusi seperti ini,
bahkan dengan adik-adikku dan ibu tentunya.
Hujan mulai reda, tinggal beberapa rintik pelan yang turun. Ibu keluar
menemui kami, mengambil gelas kopi kami yang sudah habis. “Pak! Mas, ayo masuk
ajak adik-adikmu makan.” Aku mengangguk setuju, kelihatannya perutku juga
menyetujuinya. Bapak tersenyum berdiri melangkah sambil masih berbicara, ”waktu
juga bisa sangat subjektif! Aku tahu kau terlalu menunggu dan memikirkannya,
itu yang menjadikannya tampak lama.”
“Bukankah waktu akan berasa terlalu lama jika dibuat untuk menunggu.”
Lanjutnya. “Cukup perbaiki diri dulu, lalu katakan jika sudah waktunya.”
Tutupnya.
Mungkin aku semakin tidak tahu, aku perlu cukup waktu untuk
mencernahnya. Hujan sudah benar-benar
reda. Tanah basah dan wanginya yang khas. Udara setelah hujan dan suasanyanya
yang istimewa. Aku disini mendiskusikan semuanya denganmu, kulihat rumput yang
tumbuh tak terawat diatas tempatmu, serta nisan yang mulai usang. Ah, maafkan
anakmu yang seringkali lupa mengirimkan doa kepadamu. Sungguh maafkanlah.
Aku disini, berdoa untukmu.
Aku disini, merebut kemenanganku, menerjang segala kelemahanku, menerobos kelebihanku, membangkitkan segala potensi, dan
memperjuangkan mimpi-mimpi. Aku disini pewaris tunggal harapanmu.
0 komentar:
Post a Comment