Thursday, October 01, 2015

Jobfair dan Segala Hal Absurd




SAYA bahagia ketika melihat begitu banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Namun, kebahagian saya serasa runtuh begitu saja, seperti ketika pesan ke mantan gebetan, bribikan, atau bakal calon pacar yang hanya di read doang tanpa ada balasan. Lah, gimana gak hilang kebahagiaan. Ternyata jumlah pelamar jauh lebih banyak dibandingkan dengan lowongan pekerjaan yang ada. Fiuh!

Saya harus berdesak-desakan dalam ruangan yang panas (Maaf, saya biasa kuliah-belajar-tidur-makan-ngopi-berak di ruang ber-AC). Rela mengantri panjang, hanya untuk memberikan lamaran kerja beserta berkas-berkas pendukungnya. Gak sempet ngobrol, atau setidaknya bertanya sedikit tentang perusahaan yang akan saya lamar –tidak sempat! Lah, yang mengantri banyak jeh –lagi pula mereka (satu dua orang penjaga stan perusahaan) juga sibuk mengurusi berkas para pelamar lainnya. Sampai disini saya merasa ada yang terbuang sia-sia. Pertama saya membayar sejumlah uang untuk masuk dalam gedung pameran jobfair, kedua saya harus print banyak lamaran + berkas pendukungnya, ketiga saya haus ikut berdesak-desakan mengantri. Istilahnya, saya menjadi boros : uang, tenaga dan waktu. Satu-satunya keborosan yang saya syukuri adalah saya turut memberikan rejeki ke para penjual minum asongan di luar gedung. Haha, maklum saya sempet rasanya jadi penjual minum asongan begitu.

Maksud saya begini, jika datang ke jobfair hanya untuk memberikan berkas lamaran pekerjaan. Sekali lagi, jika datang ke jobfair hanya untuk memberikan berkas lamaran pekerjaan. Kenapa tidak dilakukan melalui email atau surel saja. Saya bisa ke WARKOP selama satu setengah jam, dengan uang 5.000 rupiah sudah bisa mengirim banyak lamaran + ngepoin foto mantan, ditemani secangkir kopi dan 2 pisang goreng. Hitungannya begini, secangkir kopi dan 2 pisang goreng rata-rata habis selama satu setengah jam. Haha. Dari sini saya bisa menghemat uang, waktu dan tenaga. Atau jika perusahaan memang menginginkan berkas lamaran para pelamar dalam bentuk hardcover, saya bisa mengirimkannya langsung ke alamat perusahaan –lewat POS atau JNE. Dari sini setidaknya saya bisa menghemat waktu dan tenaga.

Atau sekarang jika dibalik begini, dari pihak perusahaan apakah juga tidak melakukan kesia-siaan, maksud saya pemborosan. Haha, entahlah, tahu apa saya tentang proses seleksi yang dilakukan oleh perusahaan, kerja di perusahaan saja belon. Saya mah apa atuh, cuma jobseeker yang dapat panggilan interview saja sudah sebahagia diajak balikan mantan.

Tapi toh, jika perusahaan itu terus menumpuk berkas lamaran pekerjaan para pelamar dari satu jobfair ke jobfair lainnya, bukankah juga termasuk pemborosan –absurd sekali. Saya tidak tahu bagaimana HRD sebuah perusahaan menyeleksi puluhan ratusan berkas lamaran pekerjaan tersebut. Tapi ketika saya sadar bahwa para HRD itu juga manusia seperti saya dan kita semua. Maka saya kira cara menyeleksi mereka juga tidak jauh berbeda sesama manusia biasa lainnya. Pertama-tama, mungkin saya bisa lihat berkas yang menarik, mungkin tampan atau cantik, kampus atau sekolah mana, IPK dan nilai-nilainya bagaimana, setelah itu baru : kira-kira mana yang memenuhi kriteria atau cocok untuk posisi yang dicari. Dan, namanya juga kira-kira, seperti kira-kira lainnya maka akan ada sedikit yang tepat, banyak pula yang meleset. Itu hanya seleksi administrasi, yang kemungkinan besar bisa saja salah menilai. Setelahnya, seleksi lainnya semisal tes tulis, psikotest, dan interview, memang biasanya benar-benar bagaimana kemampuan dan pembawaan diri si pelamar –apakah cocok dengan perusahaan.

Saya kira. Idealnya, jobfair tidak hanya tempat menaruh berkas lamaran pekerjaan. Alangkah indahnya jika jobfair itu semacam seminar atau setidaknya presentasi yang diberikan oleh perusahaan untuk mengenalkan dan ‘menjual’ perusahaannya kepada para pelamar. Tentang sejarah, visi dan misi perusahaan, tentang posisi yang ditawarkan, dan jenjang karir yang disediakan, lebih penting lagi tentang pekerjaan yang akan dilakukan, yang susah-susahnya juga harus diceritakan dan kalau bisa hal-hal sensitif semacam gaji juga diberitahukan. Haha. Sehingga dari sini, pelamar benar-benar tahu tentang perusahaan atau posisi yang ditawarkan dan nanti sudah siap bertanggung jawab terhadap pilihannya. Sampai disini, pelamar akan selektif dan benar-benar memilih sesuai kemampuan dan passionnya, dan perusahaan setidaknya terbantu dalam melakukan seleksi –mereka akan benar-benar mendapatkan calon pegawai yang sudah mantap dengan pilihannya dan siap dengan segala resiko dan beban pekerjaan. Ini tidak hanya membantu proses seleksi, namun juga keberlangsungan di masa depan calon pegawai, mengingat banyaknya kasus sebentar-sebentar resign terutama dari para freshgraduate. Haha.

Jika hanya menaruh dan mengirim lamaran pekerjaan, para pelamar akan mengirim sebanyak-banyaknya dan bahkan sebisanya mereka akan menerabas persyaratan administratif yang diberikan demi bisa mengirim dan menaruh lamaran pekerjaan sebanyak-banyaknya. Karena hukumnya adalah semakin banyak menaruh dan mengirim, maka setidaknya peluang terpanggil akan lebih besar.

Entah, bagaimana teknisnya. Mungkin selama jobfair, 2 atau 3 hari itu selain ada stan dari para perusahaan juga terdapat jadwal persentasi dari para perusahaan yang tersusun rapi. Dan disana, akan terjadi diskusi dan tanya jawab yang akan memberikan gambaran dan pemahaman baik bagi para pelamar –para pencari kerja. Karena jika jobfair hanya untuk menaruh lamaran pekerjaan, ngapain harus antri, berdesak-desakan dan membayar sejumlah uang masuk. Saya –para pelamar, merasa rugi. Sungguh saya tidak sedang memanjakan diri, ini hanya masalah efisien dan efektivitas saja. Entah, perusahaan mungkin juga rugi atau barangkali juga untung jika ini bisa menjadi bisnis yang menggiurkan dengan para penyelenggara event. Haha. Seorang teman yang lebih senior mengatakan, “Saya sudah malas dengan jobfair, banyak gak kepanggilnya. Haha.”

Sudah dulu, sampai disini saja. Saya mau pamit, sudah rapi begini, saya mau pergi ke jobfair dong. APA? Biarlah, kamu mau ngomong apa. Haha. Jika sampai saat ini, pergi ke jobfair merupakan salah satu bentuk dari ikhtiar kenapa begitu sok idealis. Huh.


“Dik! Mas mau nyari kerja dulu, baru setelah itu nyari kamu. Haha. Oiya, jangan lupa bahagia.”





1 comment:

  1. Analogi yang bagus dan masuk akal. Kenapa job fair terus ada? Karena yang dirugikan bukan perusahaan-perusahaan itu, tapi kamu, dan para job seeker yang datang.

    Pesan gue cuma satu, jangan pernah lagi datanh ke acara job fair yang memungut biaya. Tolong sebarkan dengan cara apa pun dan jangan tanya kenapa. :)))

    ReplyDelete