SAYA bahagia ketika melihat begitu banyak perusahaan yang membuka
lowongan pekerjaan. Namun, kebahagian saya serasa runtuh begitu saja, seperti
ketika pesan ke mantan gebetan, bribikan, atau bakal calon pacar yang
hanya di read doang tanpa ada
balasan. Lah, gimana gak hilang kebahagiaan. Ternyata jumlah pelamar jauh lebih
banyak dibandingkan dengan lowongan pekerjaan yang ada. Fiuh!
Saya harus berdesak-desakan dalam ruangan yang panas (Maaf, saya biasa
kuliah-belajar-tidur-makan-ngopi-berak di ruang ber-AC). Rela mengantri
panjang, hanya untuk memberikan lamaran kerja beserta berkas-berkas
pendukungnya. Gak sempet ngobrol, atau setidaknya bertanya sedikit tentang
perusahaan yang akan saya lamar –tidak sempat! Lah, yang mengantri banyak jeh
–lagi pula mereka (satu dua orang penjaga stan perusahaan) juga sibuk mengurusi
berkas para pelamar lainnya. Sampai disini saya merasa ada yang terbuang
sia-sia. Pertama saya membayar sejumlah uang untuk masuk dalam gedung pameran
jobfair, kedua saya harus print
banyak lamaran + berkas pendukungnya, ketiga saya haus ikut berdesak-desakan
mengantri. Istilahnya, saya menjadi boros : uang, tenaga dan waktu.
Satu-satunya keborosan yang saya syukuri adalah saya turut memberikan rejeki ke
para penjual minum asongan di luar gedung. Haha, maklum saya sempet rasanya
jadi penjual minum asongan begitu.
Maksud saya begini, jika datang ke jobfair hanya untuk memberikan
berkas lamaran pekerjaan. Sekali lagi, jika datang ke jobfair hanya untuk
memberikan berkas lamaran pekerjaan. Kenapa tidak dilakukan melalui email atau surel
saja. Saya bisa ke WARKOP selama satu setengah jam, dengan uang 5.000 rupiah
sudah bisa mengirim banyak lamaran + ngepoin foto mantan, ditemani secangkir
kopi dan 2 pisang goreng. Hitungannya begini, secangkir kopi dan 2 pisang
goreng rata-rata habis selama satu setengah jam. Haha. Dari sini saya bisa
menghemat uang, waktu dan tenaga. Atau jika perusahaan memang
menginginkan berkas lamaran para pelamar dalam bentuk hardcover, saya bisa mengirimkannya langsung ke alamat perusahaan
–lewat POS atau JNE. Dari sini setidaknya saya bisa menghemat waktu dan
tenaga.
Atau sekarang jika dibalik begini, dari pihak perusahaan apakah juga
tidak melakukan kesia-siaan, maksud saya pemborosan. Haha, entahlah, tahu apa
saya tentang proses seleksi yang dilakukan oleh perusahaan, kerja di perusahaan
saja belon. Saya mah apa atuh, cuma jobseeker yang dapat panggilan interview saja sudah sebahagia diajak
balikan mantan.
Tapi toh, jika perusahaan itu terus menumpuk berkas lamaran pekerjaan
para pelamar dari satu jobfair ke jobfair lainnya, bukankah juga termasuk
pemborosan –absurd sekali. Saya tidak tahu bagaimana HRD sebuah perusahaan
menyeleksi puluhan ratusan berkas lamaran pekerjaan tersebut. Tapi
ketika saya sadar bahwa para HRD itu juga manusia seperti saya dan kita semua.
Maka saya kira cara menyeleksi mereka juga tidak jauh berbeda sesama manusia
biasa lainnya. Pertama-tama, mungkin saya bisa lihat berkas yang menarik, mungkin
tampan atau cantik, kampus atau sekolah mana, IPK dan nilai-nilainya bagaimana,
setelah itu baru : kira-kira mana yang memenuhi kriteria atau cocok untuk
posisi yang dicari. Dan, namanya juga kira-kira, seperti kira-kira lainnya maka
akan ada sedikit yang tepat, banyak pula yang meleset. Itu hanya seleksi
administrasi, yang kemungkinan besar bisa saja salah menilai. Setelahnya,
seleksi lainnya semisal tes tulis, psikotest, dan interview, memang biasanya
benar-benar bagaimana kemampuan dan pembawaan diri si pelamar –apakah cocok dengan
perusahaan.
Saya kira. Idealnya, jobfair tidak hanya tempat menaruh berkas lamaran
pekerjaan. Alangkah indahnya jika jobfair itu semacam seminar atau setidaknya presentasi
yang diberikan oleh perusahaan untuk mengenalkan dan ‘menjual’ perusahaannya kepada
para pelamar. Tentang sejarah, visi dan misi perusahaan, tentang posisi yang
ditawarkan, dan jenjang karir yang disediakan, lebih penting lagi tentang
pekerjaan yang akan dilakukan, yang susah-susahnya juga harus diceritakan dan
kalau bisa hal-hal sensitif semacam gaji juga diberitahukan. Haha. Sehingga
dari sini, pelamar benar-benar tahu tentang perusahaan atau posisi yang
ditawarkan dan nanti sudah siap bertanggung jawab terhadap pilihannya. Sampai
disini, pelamar akan selektif dan benar-benar memilih sesuai kemampuan dan
passionnya, dan perusahaan setidaknya terbantu dalam melakukan seleksi –mereka
akan benar-benar mendapatkan calon pegawai yang sudah mantap dengan pilihannya
dan siap dengan segala resiko dan beban pekerjaan. Ini tidak hanya membantu
proses seleksi, namun juga keberlangsungan di masa depan calon pegawai,
mengingat banyaknya kasus sebentar-sebentar resign
terutama dari para freshgraduate.
Haha.
Jika hanya menaruh dan mengirim lamaran pekerjaan, para pelamar akan
mengirim sebanyak-banyaknya dan bahkan sebisanya mereka akan menerabas
persyaratan administratif yang diberikan demi bisa mengirim dan menaruh lamaran
pekerjaan sebanyak-banyaknya. Karena hukumnya adalah semakin banyak menaruh dan
mengirim, maka setidaknya peluang terpanggil akan lebih besar.
Entah, bagaimana teknisnya. Mungkin selama jobfair, 2 atau 3 hari itu
selain ada stan dari para perusahaan juga terdapat jadwal persentasi dari para
perusahaan yang tersusun rapi. Dan disana, akan terjadi diskusi dan tanya jawab
yang akan memberikan gambaran dan pemahaman baik bagi para pelamar –para
pencari kerja. Karena jika jobfair hanya untuk menaruh lamaran pekerjaan,
ngapain harus antri, berdesak-desakan dan membayar sejumlah uang masuk. Saya
–para pelamar, merasa rugi. Sungguh saya tidak sedang memanjakan diri, ini
hanya masalah efisien dan efektivitas saja. Entah, perusahaan mungkin juga rugi
atau barangkali juga untung jika ini bisa menjadi bisnis yang menggiurkan
dengan para penyelenggara event. Haha. Seorang teman yang lebih senior
mengatakan, “Saya sudah malas dengan jobfair, banyak gak kepanggilnya. Haha.”
Sudah dulu, sampai disini saja. Saya mau pamit, sudah rapi begini,
saya mau pergi ke jobfair dong. APA? Biarlah, kamu mau ngomong apa. Haha. Jika sampai
saat ini, pergi ke jobfair merupakan salah satu bentuk dari ikhtiar kenapa
begitu sok idealis. Huh.
“Dik! Mas mau nyari kerja dulu,
baru setelah itu nyari kamu. Haha. Oiya, jangan lupa bahagia.”
( Sumber Gambar )
Analogi yang bagus dan masuk akal. Kenapa job fair terus ada? Karena yang dirugikan bukan perusahaan-perusahaan itu, tapi kamu, dan para job seeker yang datang.
ReplyDeletePesan gue cuma satu, jangan pernah lagi datanh ke acara job fair yang memungut biaya. Tolong sebarkan dengan cara apa pun dan jangan tanya kenapa. :)))