Sunday, April 24, 2016




Baru-baru ini sedang ramai tentang sistem atau aplikasi-aplikasi berbasis teknologi informasi semacam Uber, GrabBike, Gojek, dan lain sejenisnya. Dengan sentuhan teknologi informasi, adanya model bisnis aplikasi tersebut memungkinkan kemudahan bagi beberapa pihak, serta mampu memanfaatkan sumber daya-sumber daya secara efisien, untuk kepentingan  bersama. Menurut beberapa pakar ekonomi, hal-hal tersebut adalah pola dari ekonomi berbagi, atau yang disebut sharing economy. Ekonomi berbagi sendiri adalah konsep bisnis yang memberikan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki perorangan, organisasi, atau perusahaan untuk dimanfaatkan atau dikonsumsi dengan orang lain. Manfaat ekonomi berbagi sendiri diantaranya adalah menurunkan dampak lingkungan, karena konsumsi yang berlebihan, menghebat biaya dengan pemanfaatan barang atau sumber daya yang ada.

Dalam keseharian, di sebuah desa kecil tempat tinggal saya di Lamongan, sharing economy atau ekonomi berbagi diakui atau tidak, secara sederhana bahkan sudah terlebih dulu dilakukan oleh sebagian orang-orang di desa kami sejak dulu hingga sebagian sekarang masih ada, misalnya yang dilakukan oleh Pak Teguh dan Cak Munawar. Cak Munawar adalah tetangga sekaligus kerabat jauh dari Pak Teguh. Dalam hal ini, Pak Teguh mempunyai beberapa petak sawah yang tak mampu jika beliau kerjakan sendiri, oleh sebab itu Pak Teguh memberikan penawaran kepada Cak Munawar, agar salah satu petak sawahnya dikerjakan olehnya. Cak Munawar pun menerima penawaran tersebut, mengingat Cak Munawar sendiri tidak punya petak sawah yang bisa dikerjakannya diselah-selah pekerjaannya sebagai kuli bangunan –yang itu tidak setiap hari juga ada pekerjaan.

“Yah, kalau mau sampean garap lah cak, sebagian sawah saya yang di selatannya tegalan. Nanti seperti biasa saja hasil panen, barangkali bisa dibagi…” Pungkas Pak Teguh. Tentu saja Cak Munawar mengiyakan dengan senang hati. Dengan persyaratan yang telah disepakati diawal, yang kebanyakan adalah berbagi hasil panen, dan atau ditambah yang lainnya, misalnya biaya pupuk dan lain, dan sebagainya, juga telah disepakati didepan siapa yang menanggung –si empunya tanah atau si penggarap sawah. Hanya begitu saja, tanpa ada hitam diatas putih, apalagi ditambah materai, tidak perlu, hanya sebatas saling percaya saja, cukup. Dalam hal ini mereka berdua telah berbagi dan saling bertukar sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam kancah kegiatan ekonomi di dalam masyarakat kecil.

Dan masih banyak lagi, contoh lainnya adalah ketika musim panen disawah, beberapa orang yang tidak mampu atau tidak mau mengeluarkan uang untuk biaya buruh, mereka akan mengundang tetangga atau saudara untuk membantu panen di sawah mereka, dan dikemudian hari gantian mereka yang membantu di panen di tetangga atau saudara tersebut. Mereka saling berbagi tenaga atau sumber daya manusia. Sebetulnya masih banyak contoh lainnya, tidak hanya dalam ranah pertanian, tapi juga dalam hal peternakan. Biasanya seorang yang sedang kelebihan uang akan membelikan atau bisa disebut menginvestasikan uangnya untuk membeli sapi, kemudian karena tidak punya waktu dan juga skill atau kemampuan dalam merawat sapi tersebut, akhirnya dipercayakan kepada tetangga yang sudah terbiasa merawat sapi tersebut, dalam 2 sampai 3 tahun kemudian, mereka akan berbagi hasil untung penjualan dari sapi tersebut. Iyah, begitu saja. Sesederhana itu. entah, hal-hal sederhana yang mendasar seperti itu layak disebut ekonomi berbagi atau tidak. Namun, mereka telah melakukan konsep ekonomi berbagi itu sendiri, yaitu saling membantu atau berbagi dan atau memanfaatkan sumberdaya yang ada.

Dalam pengertian yang lebih luas, menurut Benita Matofska dari Organisasi The People We Share, seperti yang saya kutip dari tulisan Jalal di geotimes.co.id. Bahwa ekonomi berbagi adalah sebuah ekosistem sosial-ekonomi yang dibangun disekitar, untuk berbagi sumberdaya manusia dan fisik, termasuk dalam penciptaan, produksi, distribusi, perdagangan dan konsumsi oleh orang-orang dan organisasi yang berbeda. Dimana dalam prakteknya terdapat visi berkelanjutan, yakni pemanfaatan sumberdaya sekarang untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi selanjutnya.

Sehingga ekonomi berbagi adalah gambaran sebuah bisnis atau kegiatan ekonomi yang mampu memanfaatkan peluang dengan sumberdaya yang ada, tentu saja dibarengi dengan kemajuan teknologi sehingga mampu memberikan kemudahan akses. Dan yang paling penting dari ekonomi berbagi adalah kemauan untuk berbagi sumberdaya, untuk dipakai semua orang dalam kegiatan sosio-ekonomi.

Dengan kondisi bonus demografi seperti ini, dimana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih banyak dari penduduk usia non-produktif. Pemanfaatan industri kreatif yang mengedepankan konsep ekonomi berbagi akan memberikan peran maksimal dalam kegiatan ekonomi. Sesederhana yang dilakukan Pak Teguh, untuk berbagi sumberdaya dengan Cak Munawar, namum dalam sebuah kegiatan ekonomi yang tidak sederhana lagi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan inovasi-inovasi baru. Barangkali, memanfaatkan konsep ekonomi berbagi dalam industri kreatif akan besar manfaatnya jika dilakukan dengan baik, dengan niatan berbagi sumberdaya yang ada, untuk diapakai secara bersama-sama, dengan keuntungan bersama. Tanpa ada suatu bentuk monopoli ekonomi dari satu dua pihak saja.


Di Desa Sudah Ada Ekonomi Berbagi?

Read More

Wednesday, March 02, 2016




Millenium Development Goals (MDGs) telah berakhir di penghujung tahun 2015. Sebagai tindaklanjut, sebanyak 193 negara anggota PBB menandatangani Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu tujuan pembangunan berkelanjutan untuk periode 2016 hingga 2030 mendatang, yang dijadikan sebagai model pembangunan nasional, di setiap negara. Dalam SDGs, terdapat 17 tujuan atau agenda pencapaian. Salah satu tujuannya adalah mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan pangan dan perbaikan gizi serta memajukan pertanian berkelanjutan.

Saat ini, Indonesia sendiri sedang berusaha keras mencapai kedaulatan pangan. Dengan jumlah penduduk yang besar, kebutuhan pangan yang layak secara merata bagi seluruh masyarakat Indonesia menjadi perhatian yang sangat penting. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 238,5 juta jiwa. Pada tahun ini, 2016 bertambah menjadi 258,7juta jiwa dan akan terus meningkat. Sementara itu pada tahun 2035 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia mencapai 305,6 juta jiwa. Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk tersebut, tentu saja kebutuhan pangan akan terus meningkat. Tantangan besarnya adalah ketersediaan lahan pertanian yang semakin menyusut, dimana setiap tahunnya lahan pertanian terus berkurang beralih fungsi kepenggunaan lainnya, misalnya industri manufaktur dan perumahan.

Tantangan berikutnya yang tidak kalah seriusnya adalah,kurangnya minat para pemuda untuk terjun dalam bidang pertanian menjadi sesuatu hal yang perlu diperhatikan. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat banyaknya desa yang ditinggalkan oleh para pemudanya. Mereka lebih memilih profesi lain di kota-kota besar yang lebih menjanjikan daripada menjadi petani di desa. Hal tersebut tidak salah memang, mengingat Nilai Tukar Petani (NTP) salah satu indikator yang dikeluarkan oleh BPS untuk melihat kesejahteraan petani masih sangat rendah.

Para pemuda desa lebih menyukai profesi lainnya, yang lebih menjanjikan untuk kesejahteraan mereka. Pada akhirnya mereka berbondong-bondong ke kota, bekerja pada perusahaan-perusahaan besar yang mapan, yang menjanjikan kesejahteraan masa depan bagi mereka. Ditambah lagi kondisi pertanian di desa yang umumnya hanya dikuasai oleh mereka yang secara turun temurun mempunyai lahan pertanian yang luas. Sehingga para petani yang ada umumnya merupakan buruh tani (tidak mempunyai lahan pertanian) dan petani kecil yang mempunyai lahan pertanian kecil, mereka tahu sulit sekali mengharapkan kesejahteraan dari hasil pertanian. Jika dirata-rata petani di Indonesia hanya menguasai sekitar 0,3 ha sawah per kepala, sangat sedikit sekali, dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sejatinya jumlah penduduknya jauh lebih sedikit. Sehingga tidak heran, jika mereka para pemuda akan lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain di kota. Memang dengan begitu mahalnya harga tanah pertanian, sulitnya mendapatkan harga benih dan pupuk murah yang dirasakan sangat membebani dan menghalangi para pemuda desa berprofesi sebagai petani. Belum lagi ditambah rendahnya keuntungan dari usaha tani.

Padahal dengan munculnya isu tentang bonus demografi, harapannya para pemuda ikut berperan dalam ekonomi pedesaan. Guna membangun pertanian yang lebih baik dan kuat, demi tercapainya ketahanan pangan di masa depan. Dan, diantara peran pemuda dalam pertanian adalah diharapkan mampu menciptanya sistem atau konsep-konsep baru dalam dunia pertanian, ataupun teknologi baru sehingga mampu memaksimalkan produktivitas meskipun dengan lahan yang seminimum mungkin. Kedua, juga memanfaatkan potensi tanaman pertanian di tiap-tiap wilayah pertanian di Indonesia. Sehingga ketergantungan pada satu dua jenis tanaman makanan pokok tidak terjadi. Dengan begitu diharapkan bisa memberikan hasil maksimal tergantung wilayah sesuai potensi tanaman di daerah tersebut.

Semoga kita tidak lupa bahwa desa dan pertanian juga butuh peran pemuda (para petani-petani muda) yang penuh inovasi di dunia pertanian. Sehingga diharapkan mampu menciptakan pertanian yang kokoh di masa depan, lalu mampu memenuhi kedaulatan pangan, yang itu dimana merupakan bagian dari nawacita dan salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals  (SDGs) yang juga telah sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sebagai program pembangunan berkelanjutan di Indonesia.


Pemuda, Desa, dan Pertanian

Read More

Monday, February 29, 2016



Kondisi Demografi Indonesia,

Indonesia saat ini adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-empat, setelah China, India, dan Amerika. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 238,5 juta jiwa. Dan tahun ini, 2016 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia sebanyak akan meningkat 258,7 juta jiwa. Sementara itu, publikasi Proyeksi Penduduk Indonesia oleh Bappenas, memprediksi jumlah penduduk Indonesia akan terus meningkat, dan pada tahun 2035 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia mencapai 305,6 juta jiwa.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa, jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan itu : banyak! Dan, terus meningkat tiap tahunnya. Dan jika dilihat dari piramida penduduk, Indonesia termasuk ke dalam negara berkembang. Dikatakan sebagai negara berkembang karena terdapat angka kelahiran yang tinggi dan angka kematian yang rendah yang menyebabkan penduduk yang berumur muda banyak, dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang juga tinggi.

Begitu banyaknya jumlah penduduk Indonesia membuat isu tentang kualitas sumber daya manusia menjadi ramai diperbincangkan.


Bonus Demografi,

Diperkirakan pada tahun 2020 sampai tahun 2030, Indonesia mengalami puncak dari bonus demografi. Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk usia bekerja atau produktif (penduduk yang memasuki usia kerja 15 sampai 64 tahun). Dalam buku proyeksi penduduk Indonesia 2010 sampai 2035, yang dipublikasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, BPS (Badan Pusat Statistik) dan UNFPA (United Nations Population Fund). Diketahui bahwa penduduk usia produktif pada tahun 2010 adalah sebesar 66,5%, dan pada tahun 2016 ini mencapai 67,4%. Dan diperkirakan puncaknya pada tahun 2030 yaitu sebesar 68,1%.

Namun, perlu ditekankan bahwa bonus demografi tidak serta merta terjadi begitu saja, peningkatan tenaga kerja usia produktif akan menjadi benar-benar bonus jika dapat berdaya secara ekonomi. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana? Tentu saja, meningkatkan kualitas penduduk usia produktif merupakan salah satu cara, mulai dari segi kesehatan, hingga pendidikan, kemudian keterampilan dan kemampuan daya saing dalam bekerja yang berdaya secara ekonomi. Sehingga pemerintah juga harus mampu menjadi agent of development dengan cara memperbaiki mutu sumber daya manusia, dari berbagai aspek-aspek yang dapat mengembangkan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

Serta perlunya investasi dan pengembangan dari berbagai sektor, sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Banyaknya jumlah penduduk usia produktif harus pula diimbangi dengan banyaknya lapangan pekerjaan –sehingga, akan menjadi benar-benar produktif secara ekonomi.


Industri Kreatif Adalah Solusi,

Dengan adanya bonus demografi, tentunya akan dibutuhkan industri yang besar untuk menciptakan lapangan pekerjaan demi mewadahi Sumber Daya Manusia yang melimpah. Namun begitu akan sangat dibutuhkan investasi yang tidak sedikit. Industri keatif memungkinkan menjadi salah satu solusi dari bonus demografi di Indonesia. Menurut data BPS industri kreatif selama ini mampu menyerap 10,6% dari total tenaga kerja yang dapat diserap perekonomian. Dan diperkirakan ekonomi kreatif setiap tahunnya dapat menyerap 10-11% tenaga kerja.

Industri kreatif sendiri berarti penciptaan nilai tambah yang berbasis ide yang lahir dari kreativitas sumber daya manusia, dan berbasis pada ilmu pengetahuan, termasuk warisan budaya dan teknologi. Menurut buku “Ekonomi Kreatif: Rencana Aksi Jangka Menengah 2015-2019”, yang diterbitkan oleh menteri pariwisata dan ekonomi kreatif pada tahun 2014 lalu. Industri kreatif dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu industri kreatif yang masih membutuhkan input yang berwujud (tangible-based) dalam memproduksi karyanya, dan karya kreatif yang sepenuhnya menggunakan input produksi tidak berwujud (intangible-based). Sedangkan berdasarkan substansi dominan, maka kelompok industri kreatif dapat dibedakan menjadi kelompok berbasis media, berbasis seni dan budaya, serta berbasis desain.

Dan diantaranya klasifikasi kelompok industri kreatif di Indonesia adalah, Kerajinan Tangan, Mode, Kuliner, Seni Rupa, Penerbitan, Penelitian dan Pengembangan, Arsitektur, Teknologi Informasi, Desain, TV dan Radio, Periklanan, Digital Content, Musik, Film Video dan Fotografi. Diantara sekian banyak klasifikasi kelompok industri kreatif, mari kita bahas salah salah satu diantaranya.

Digital Content and Advertising, Pengguna internet di Indonesia (Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pada tahun 2014 mencapai 107 juta orang, sementara kemenkominfo menargetkan pada akhir tahun 2015 pengguna internet mencapai 150 juta orang. Dengan memanfaatkan internet melalui media sosial, blog dan youtube yang memungkinkan penggunanya merutinkan diri memberikan konten-konten yang bermanfaat sampai menghibur, sehingga menjadikannya wadah bagi para pengiklan untuk beriklan disana. Sudah banyak sekali contoh akun-akun media sosial seperti facebook dan twitter yang dibayar mahal untuk beberapa kali promosi barang, sudah sekian banyak blogger dan youtuber yang mendapatkan bayaran tinggi dari iklan-iklan yang tayang di akun mereka.

Publishing , dunia literasi di Indonesia setidaknya selalu punya penggemar dan pasar tersendiri, dan saya yakin terus berkembang setiap harinya. Ini dilihat dari banyaknya media-media dan penerbitan yang muncul, baik secara self-publishing ataupun penerbitan besar yang sudah ternama. Serta semakin banyaknya penulis-penulis indie di berbagai media dan portal online.

Game Development, sudah cukup kita selama ini menjadi penikmat dan pengikut setia game-game, baik itu online dan offline. Seharusnya dengan besarnya pangsa pasar di Indonesia, harapannya muncul orang-orang (anak muda) kreatif yang mampu mengembangkan game, bukan hanya sebagai penikmat pasif namun juga ikut terlibat dalam bisnis di dalamnya. Seandainya mereka tahu perputaran uang di dalam dunia game, luar biasa. Sehingga harapan kedepannya akan semakin banyak pengembang-pengembang game dari anak-anak muda Indonesia.


Handicrafts, banyaknya hasil kerajinan tangan di setiap penjuru daerah di Indonesia seharusnya dapat dimanfaatkan. Dengan publikasi yang dikemas secara baik akan menjadikan bisnis kerajinan tangan sebagai salah satu sumber penghasilan dan penggerak ekonomi kecil. Kerajinan tangan dapat dikemas dan dipasarkan secara global dan modern. Dengan memanfaatkan internet dan mengembangkan aplikasi teknologi, sebagai contoh Gojek, hal sederhana dengan sedikit kreatifitas yang terintegrasi dengan teknologi akan mampu berdaya secara ekonomi.

Demografi Indonesia

Read More

Friday, December 25, 2015




“Dek, baper itu apa seh?”

“Banyak Permainan.” Jawabnya, sambil tertawa melihat acara program kuis di salah satu televisi swasta.

Saya tertawa, kemudian berdehem sebentar meminta jawaban lain.

“Baper ta? Bawa Perasaan.”

Saya tertunduk diam. Menahan tawa. Perasaan adik keponakan saya baru kelas 5 SD. Korban sinetron dan acara musik gak jelas ini pasti. Haha.

 ***


LAMONGAN DAN HAL-HAL YANG MEMBUAT BAPER

Baper barangkali adalah istilah yang lagi kekinian. Barangkali. Kemarin hari saya sedang berkendara dengan motor butut saya di kota yang sangat bisa menenangkan pikiran ini (saya serius). Ketika sedang di luar kota kabupaten lain, dan saya sedang pulang ke Lamongan. Sesampainya di Lamongan, tetiba ada perasaan adem yang menjalar keseluruh tubuh. Dan pikiran tentunya menjadi begitu tersegarkan, hilang sudah stress dan sumpek karena beban kerja, tekanan dari atasan, beban tugas kuliah, beban banyak sks, dosen killer, dan beban moral karena terlalu lama melajang, maaf saya ngelantur.

Pada hal-hal yang menyenangkan tersebut tentang kota kelahiran saya, Lamongan. Saya berpikir kadang-kadang ada hal-hal atau suatu tempat dan keadaan yang membikin baper. Dan benar, ditempat dan keadaan seperti inilah saya terkadang merasa baper. Haha. *peluk saya dik, peluk*


Alun-alun Kota
Sebagai kota kecil, alun-alun Lamongan menjadi semacam pusat segala aktifitas kekinian. Tumpah ruah jadi satu. Tempat berkumpul semua kalangan dan golongan, entah kiri atau kanan, entah NU atau Muhammadiyah, ataupun entah golongan orang-orang yang membolehkan dan tidak membolehkan -mengucapkan selamat natal. Haha. Alun-alun yang sekarang tampak lebih cantik dengan taman-taman yang diperbaiki, dibuatnya tempat olahraga dan aktifitas kekinian warga muda Lamongan, sehingga berapa tahun terakhir ini karena jarang di Lamongan saya telat tahu aktifitas mereka di minggu pagi, atau istilah mereka Mince –Minggu Ceria. Ramai sekali ternyata. Haha.

Sebagai bocah yang tumbuh di Lamongan, alun-alun kota telah menjadi saksi saya tumbuh mulai dari jaman sekolah sampai selepas sekolah. Mulai dari upacara bendera 17 Agustus, olahraga bersama, melihat konser dangdut, bermain bola di malam hari selepas sholat tarawih, melihat pameran pendidikan, masuk Bazar Ekspo nyerobot tanpa membeli tiket masuk, hingga berjualan es dengan gerobak merah yang menarik mata. Haha.

Semuanya pernah, semua, kecuali pacaran di akhir pekan sepeti remaja-remaja sekarang. Eh.

Plaza Lamongan
Barangkali Plaza Lamongan adalah satu-satunya plaza modern yang ada di Lamongan, yang dulu digadang-gadang akan menjadi suatu harapan ekonomi baru setelah pasar kliwon Kembangbahu. Loh? Haha. Yang kemudian sekarang menghilang dan mati, entah. Plaza yang konon dibangun dengan dana APBD sebesar 63 Milyar ini tampak semakin menyedihkan, karena sesekali kemarin digunakan sebagai ajang pameran batu akik. Haha. Dulu, sebelum di bangun Plaza Lamongan. Disanalah ada pasar yang menjadi salah satu pusat ekonomi dan keramaian.

Sementara sekarang, Plaza Lamongan yang mati suri dan telah menjadi pusat kesunyian diantara gemerlap warung kopi dan KFC sebagai tempat nongki-nongki tipis para pelajar dan mahasiswa alay yang baru kenal pacaran. Uhuk.

Saya ragu Plaza Lamongan mati suri begini, bukan karena masyarakat Lamongan menolak modernitas, ini hanya soal pengelolahannya saja. Bodo. Kurang survei, kurang piknik.

Jalan Veteran
Jika boleh saya sebut, inilah jalan dimana pusat pendidikan dibentangkan dan jalan dimana keriuhan arek-arek Lamongan yang haus akan ilmu. Mulai dari ujung utara sampai ujung selatan, disanalah berjajar sekolah-sekolah di Lamongan kota. Sehingga setiap pagi, veteran adalah jalan dengan kesibukan yang menggairahkan. Disana juga terdapat banyak sekolah-sekolah favorit di Lamongan (tanpa mengesampingkan sekolah lainnya di luar jalan veteran loh, haha). Apalagi sekarang dengan berkembangnya kampus UNISLA yang subhanallah sebagai kampus dengan mahasiswa terbanyak di Lamongan. Semoga tidak hanya kuantitas, kemudian kualitas juga semakin baik.

Haha. Entahlah, saya suka sekali menikmati jalan veteran dengan segala iklim pendidikannya. Sebagai alumni jalan veteran, saya juga berharap dengan pendidikan Lamongan bisa menjadi lebih baik.

Warung Kopi
Beberapa tahun terakhir warung kopi di Lamongan sudah menjadi semacam jamur di musim panu hujan, mudah sekali menyebar. Sepanjang jalan disetiap sudut kota anda akan menemuinya dengan mudah. Dengan fasilitas yang tidak boleh kelewatan “Free Wifi”, meskipun akhir-akhir ini kualitas internet jarang diperhatikan sih. Haha.

Dengan semakin banyaknya pemuda yang nongkrong di warung kopi yang kebanyakan adalah pelajar, mahasiswa dan beberapa pekerja muda, saya percaya ekonomi Lamongan sedang membaik. Haha. Entahlah. Karena jika dulu kondisi ekonomi Lamongan hanya bisa ditebak dari keramaian pasar, jika pasar sedang ramai berarti panen di desa cukup baik dan itu berarti kondisi ekonomi sedang baik. Namun, barangkali sekarang tingkat keramaian warung kopi bisa di jadikan salah satu variabel penting. Haha.

Saya percaya, dengan banyaknya pemuda yang nongkrong di warung kopi tersebut meskipun tidak membuat mereka lebih produktif tapi setidaknya itu membuat mereka lebih peka dalam hubungan sosial, dalam merawat pikiran agar tetap segar. Karena dalam setiap secangkir kopi, tersaji obrolan hangat yang menguatkan, meskipun kadang juga lamunan yang menyenangkan.

Saya sedang memikirkan, warung kopi yang menyenangkan sekaligus bisa membuat waktu menjadi produktif. Apa harus saya yang memulai. Haha.

Perempuan
Masih ada yang ragu, bahwa perempuan Lamongan bisa membuat anda baper? Berarti anda belum pernah jatuh hati dengan perempuan Lamongan. Haha. Dan kalau anda belum pernah jatuh hati dengan perempuan Lamongan, berarti anda termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi. Haha.


”Atau, adik mau jatuh hati pada lelaki Lamongan seperti saya?”


Lamongan dan Hal-hal yang Membuat Baper

Read More

Saturday, November 28, 2015




Entahlah. Saya merasa bingung mau menulis apa. Jika saya sedang duduk bertiga dengan dua sahabat saya, sebut saja Alfan dan Tono. Pasti ujung-ujungnya masalah perempuan sudah menjadi bahasan kami bertiga. Haha. Dua pria tanggung menyedihkan itu mahasiswa semester akhir yang menurut saya sama saja –galau urusan cinta.

Buktinya, mana ada seorang -jomblo-menjaga-diri- akut semacam Alfan dengan percaya diri menyembunyikan perasaan cinta dengan begitu bahagianya, perlu diulang : dengan begitu bahagia. Padahal kan, cinta diam-diam itu akan menghadapi penolakan atau penerimaan secara diam-diam pula. Lah, apa enak yang kayak begitu? Kan lebih baik tegaskan saja : Ungkapkan atau Lupakan! Haha. Sementara akhi Tono kurang galau apa coba, mahasiswa yang topik skripsi saja belum punya tapi sudah sibuk mengikuti pelatihan pra-nikah, belajar buku-buku pernikahan. Seperti itu anda anggap bukan galau, haha. Itu sudah benar-benar galau urusan cinta, hanya saja penyalurannya agak positif : belajar dulu –eksekusinya belakangan.

Sayangnya saya lagi sendirian di kamar, tidak sedang bersama mereka. Sehingga saya tidak akan membahas urusan cinta dan perempuan. saya akan membahas hal yang lebih urgen keren, urusan : Pekerjaan, misalnya. Haha. Tapi saya tidak sedang ikut-ikutan ramai memperbincangkan perdebatan tentang kaum buruh yang meminta kenaikan gaji dan kelas menengah yang nyinyir menyindir atau sebagian lain nyolot mendukung. Pro dan kontra diantara mereka, mempunyai sudut pandang pembelaan tersendiri yang bagi saya sama-sama benarnya. Misalnya, kelas menengah yang nyinyir menyindir kaum buruh dengan argumen buruh kok pakai gadged mahal, motor ninja, liburan ke Bali, mbok ya sadar, hidup secukupnya saja. Kalau mau gaji naik ya tingkatkan produktivitasnya dong. Adapula yang nyolot mendukung bahwa tuntutan macam apa yang tidak realistis, upah buruh di Indonesia saja masih tergolong rendah di Asia Tenggara. Sementara produktivitas macam apa yang ributkan, lah kalian tidak merasakan sendiri secara langsung bagaimana rasanya berada di bagian produksi, berdiri berjam-jam, menghirup zat kimia (berbahaya) setiap hari, sudah gitu ditambah mau tidak mau ya kebanyakan meninggalkan waktu ibadah. Lah, mesin harus jalan terus jeh.

Haha, sudahlah. Riuh dan perdebatan semacam itu memang perlu supaya terus terjadi perbaikan dan keadilan dari semua pihak, baik kaum buruh,  maupun pengusaha. Namun, sejatinya janganlah lupa untuk bahagia bersyukur, demi apa saja yang ada di depan mata. Setidaknya sudah ada informasi diumumkan bahwa UMK tahun depan (2016) naik. Ah, habis itu juga banyak PHK lagi, haha. Udah begitu.

Sebagai freshgraduate, dan pekerja (kontrak) baru. Saya merasa memasuki dunia baru, yang kadangkala seringkali menyenangkan. Saya pernah diingatkan –bahkan terkadang sampai sekarang, bahwasanya yang perlu disiapkan pertama kali dalam bekerja adalah mental. Mental adalah hal pertama yang harus disiapkan, sementara saya sendiri kadang berpikir mental yang seperti apa. Kesiapan untuk bekerja –saya siap. Atau barangkali mental untuk dimarah-marahin dan disuruh-suruh, haha. Itu saya. Setidaknya banyak sekali mental yang harus disiapkan, mental bukan hanya sesederhana tersebut. Saya sendiri juga sedang belajar memperbaiki mental.

Sebagai contoh kecil. Barangkali mental kerja yang selalu merindukan akhir pekan atau pengen sesegera mungkin jam 5 sore, adalah bukan mental yang baik. Haha. Dan barangkali bekerja sebaik-baiknya tanpa memperdulikan gaji anda sekarang adalah mental yang baik, karena pada akhirnya gaji akan mengikuti kinerja, dan kalaupun tidak –ya tentu saja Tuhan yang melebihkan. “Bos, marahin saya jika kerja saya tidak baik. Tapi pliss jika kerja saya baik, ndak usah dipuji, naikin saja gaji, udah.”

“Masalahnya, kamu selalu saya marahin. Bib!” [SKIP]

Barangkali perlu diketahui, bahwa yang lebih penting adalah mental untuk melangkah maju, sepertinya begitu. Belajar banyak dari hal-hal baru yang sebelumnya sedikit atau bahkan belum pernah diketahui sama sekali.

Dengan melangkah maju kita sadar arti penting dari move on. Iya, sebut saja mental move on. Haha. Seperti halnya galaunya cinta oleh Alfan dan Tono, mereka mampu move on dengan cara, kemampuan dan pribadinya masing-masing. Bagaimana kegalauan Alfan soal cinta mampu dia sembunyikan yang kemudian bisa berwujud sikap move on, yang mana dia begitu percaya diri oleh cinta diam-diam, bahwa perasaan itu belum saatnya diungkapkan, menunggu sampai waktu yang tepat dalam kebersiapan yang baik adalah sikap laki-laki. Begitulah cara dia move on. Kepercayaan diri seorang Alfan ini bisa dilihat dari Poto Profil Facebooknya dimana sudah beberapa minggu dia menggunakan gambar dengan sebuah kalimat, “Kalau Tuhan menjodohkan kita, pacarmu bisa apa?”. Lihatlah kalimat itu, bisa jadi cinta diam-diam Alfan itu ditujukan kepada seorang yang sudah punya pacar –sekarang. Bisa saja. Itu sebuah kode. Alfan adalah seorang pengkode ideal. Haha. Dengan sikap move on yang seperti itu, saya yakin Alfan pada suatu saat nanti akan mendapatkan salah satu dari dua hal ini : Pendamping hidup atau Pelajaran hidup.

Sementara Tono, bagaimana dia move on dari kegalauan cinta dengan belajar, baginya tidak ada cara untuk menunda perasaan cinta yang datang. Cara satu-satunya adalah mempersiapkan, bukan tergesa memulai apalagi sengaja menunda. Bukan. Maka tidak heran jika Tono ikut pelatihan pra-nikah, membaca buku-buku pernikahan. Sungguh mulia galau sekali hatinya. Kalaupun dia tertarik dengan perempuan akhwat –halah sama saja, haha. Tono tidak menampakkannya, dia diam dan memasrahkannya pada Tuhan. Bukan main kode-kodean seperti Alfan. Haha.

Sementara saya yang sudah move on dalam arti yang sebenarnya, saya sadar lelaki yang terlalu dalam menyesali putus cinta adalah lelaki yang bodoh. Lelaki harus segera bangkit, kalau tidak ingin kalah dalam persaingan baru diluar sana. Haha.


“Dik, saya sudah move on, masa lalu saya sudah selesai. Boleh, saya memulai masa depan bersama adik?”







@Mojokerto, Hujan Pertama November 2015.

Kerja itu Move On

Read More

Thursday, October 01, 2015




SAYA bahagia ketika melihat begitu banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Namun, kebahagian saya serasa runtuh begitu saja, seperti ketika pesan ke mantan gebetan, bribikan, atau bakal calon pacar yang hanya di read doang tanpa ada balasan. Lah, gimana gak hilang kebahagiaan. Ternyata jumlah pelamar jauh lebih banyak dibandingkan dengan lowongan pekerjaan yang ada. Fiuh!

Saya harus berdesak-desakan dalam ruangan yang panas (Maaf, saya biasa kuliah-belajar-tidur-makan-ngopi-berak di ruang ber-AC). Rela mengantri panjang, hanya untuk memberikan lamaran kerja beserta berkas-berkas pendukungnya. Gak sempet ngobrol, atau setidaknya bertanya sedikit tentang perusahaan yang akan saya lamar –tidak sempat! Lah, yang mengantri banyak jeh –lagi pula mereka (satu dua orang penjaga stan perusahaan) juga sibuk mengurusi berkas para pelamar lainnya. Sampai disini saya merasa ada yang terbuang sia-sia. Pertama saya membayar sejumlah uang untuk masuk dalam gedung pameran jobfair, kedua saya harus print banyak lamaran + berkas pendukungnya, ketiga saya haus ikut berdesak-desakan mengantri. Istilahnya, saya menjadi boros : uang, tenaga dan waktu. Satu-satunya keborosan yang saya syukuri adalah saya turut memberikan rejeki ke para penjual minum asongan di luar gedung. Haha, maklum saya sempet rasanya jadi penjual minum asongan begitu.

Maksud saya begini, jika datang ke jobfair hanya untuk memberikan berkas lamaran pekerjaan. Sekali lagi, jika datang ke jobfair hanya untuk memberikan berkas lamaran pekerjaan. Kenapa tidak dilakukan melalui email atau surel saja. Saya bisa ke WARKOP selama satu setengah jam, dengan uang 5.000 rupiah sudah bisa mengirim banyak lamaran + ngepoin foto mantan, ditemani secangkir kopi dan 2 pisang goreng. Hitungannya begini, secangkir kopi dan 2 pisang goreng rata-rata habis selama satu setengah jam. Haha. Dari sini saya bisa menghemat uang, waktu dan tenaga. Atau jika perusahaan memang menginginkan berkas lamaran para pelamar dalam bentuk hardcover, saya bisa mengirimkannya langsung ke alamat perusahaan –lewat POS atau JNE. Dari sini setidaknya saya bisa menghemat waktu dan tenaga.

Atau sekarang jika dibalik begini, dari pihak perusahaan apakah juga tidak melakukan kesia-siaan, maksud saya pemborosan. Haha, entahlah, tahu apa saya tentang proses seleksi yang dilakukan oleh perusahaan, kerja di perusahaan saja belon. Saya mah apa atuh, cuma jobseeker yang dapat panggilan interview saja sudah sebahagia diajak balikan mantan.

Tapi toh, jika perusahaan itu terus menumpuk berkas lamaran pekerjaan para pelamar dari satu jobfair ke jobfair lainnya, bukankah juga termasuk pemborosan –absurd sekali. Saya tidak tahu bagaimana HRD sebuah perusahaan menyeleksi puluhan ratusan berkas lamaran pekerjaan tersebut. Tapi ketika saya sadar bahwa para HRD itu juga manusia seperti saya dan kita semua. Maka saya kira cara menyeleksi mereka juga tidak jauh berbeda sesama manusia biasa lainnya. Pertama-tama, mungkin saya bisa lihat berkas yang menarik, mungkin tampan atau cantik, kampus atau sekolah mana, IPK dan nilai-nilainya bagaimana, setelah itu baru : kira-kira mana yang memenuhi kriteria atau cocok untuk posisi yang dicari. Dan, namanya juga kira-kira, seperti kira-kira lainnya maka akan ada sedikit yang tepat, banyak pula yang meleset. Itu hanya seleksi administrasi, yang kemungkinan besar bisa saja salah menilai. Setelahnya, seleksi lainnya semisal tes tulis, psikotest, dan interview, memang biasanya benar-benar bagaimana kemampuan dan pembawaan diri si pelamar –apakah cocok dengan perusahaan.

Saya kira. Idealnya, jobfair tidak hanya tempat menaruh berkas lamaran pekerjaan. Alangkah indahnya jika jobfair itu semacam seminar atau setidaknya presentasi yang diberikan oleh perusahaan untuk mengenalkan dan ‘menjual’ perusahaannya kepada para pelamar. Tentang sejarah, visi dan misi perusahaan, tentang posisi yang ditawarkan, dan jenjang karir yang disediakan, lebih penting lagi tentang pekerjaan yang akan dilakukan, yang susah-susahnya juga harus diceritakan dan kalau bisa hal-hal sensitif semacam gaji juga diberitahukan. Haha. Sehingga dari sini, pelamar benar-benar tahu tentang perusahaan atau posisi yang ditawarkan dan nanti sudah siap bertanggung jawab terhadap pilihannya. Sampai disini, pelamar akan selektif dan benar-benar memilih sesuai kemampuan dan passionnya, dan perusahaan setidaknya terbantu dalam melakukan seleksi –mereka akan benar-benar mendapatkan calon pegawai yang sudah mantap dengan pilihannya dan siap dengan segala resiko dan beban pekerjaan. Ini tidak hanya membantu proses seleksi, namun juga keberlangsungan di masa depan calon pegawai, mengingat banyaknya kasus sebentar-sebentar resign terutama dari para freshgraduate. Haha.

Jika hanya menaruh dan mengirim lamaran pekerjaan, para pelamar akan mengirim sebanyak-banyaknya dan bahkan sebisanya mereka akan menerabas persyaratan administratif yang diberikan demi bisa mengirim dan menaruh lamaran pekerjaan sebanyak-banyaknya. Karena hukumnya adalah semakin banyak menaruh dan mengirim, maka setidaknya peluang terpanggil akan lebih besar.

Entah, bagaimana teknisnya. Mungkin selama jobfair, 2 atau 3 hari itu selain ada stan dari para perusahaan juga terdapat jadwal persentasi dari para perusahaan yang tersusun rapi. Dan disana, akan terjadi diskusi dan tanya jawab yang akan memberikan gambaran dan pemahaman baik bagi para pelamar –para pencari kerja. Karena jika jobfair hanya untuk menaruh lamaran pekerjaan, ngapain harus antri, berdesak-desakan dan membayar sejumlah uang masuk. Saya –para pelamar, merasa rugi. Sungguh saya tidak sedang memanjakan diri, ini hanya masalah efisien dan efektivitas saja. Entah, perusahaan mungkin juga rugi atau barangkali juga untung jika ini bisa menjadi bisnis yang menggiurkan dengan para penyelenggara event. Haha. Seorang teman yang lebih senior mengatakan, “Saya sudah malas dengan jobfair, banyak gak kepanggilnya. Haha.”

Sudah dulu, sampai disini saja. Saya mau pamit, sudah rapi begini, saya mau pergi ke jobfair dong. APA? Biarlah, kamu mau ngomong apa. Haha. Jika sampai saat ini, pergi ke jobfair merupakan salah satu bentuk dari ikhtiar kenapa begitu sok idealis. Huh.


“Dik! Mas mau nyari kerja dulu, baru setelah itu nyari kamu. Haha. Oiya, jangan lupa bahagia.”





Jobfair dan Segala Hal Absurd

Read More

Saturday, August 29, 2015



Keterangan : Foto saya ambil curi secara diam-diam, semoga tidak melanggar UU ITE. Haha



Geli(sah) itu memang terkadang geli menyebalkan, sementara (eufo)ria bagaimanapun bentuknya tetaplah ceria penuh kegembiraan. Sementara bagaimana jika keduanya digabungkan dalam satu perasaan, ah : tanyakan saja pada para calon lulusan sarjana –termasuk diploma. Setelah berjuang terpaksa harus berkutat dengan tugas-tugas kuliah setiap hari selama beberapa tahun yang melelahkan, halah! Jujur saja beberapa tahun itu cuma bersenang-senang dengan kehidupan kampus, organisasi kepoin adik angkatan, misalnya. Eh. Haha. Tentu saja para lulusan baru itu begitu gembira, bahagia, sejahtera selama-lamanya. Lulus jeh, kemudian wisuda. Maka nikmat Tuhan apalagi yang anda dustakan, hai para wisudawan? Sehingga wajar saja jika euforia penuh kemenangan ada pada diri anda –para wisudawan. Tapi, tunggu dulu, kenapa ada sedikit wajah masam yang saya anda sembunyikan. Seperti gelisah, bagaimana gitu. Haha. Baiklah saya mengerti, lulus bukanlah akhir dari segalanya. Anda (dan saya) tahu dibelakang kata lulus, ada pertanyaan besar yang mengintai :

KEMANA? Iyah, betul. Lalu kemana setelah lulus? Melanjutkan pendidikan, kiranya dengan kemampuan  pas-pasan seperti saya anda dan biaya bisa dikatakan cukup saja tidak, itu akan sulit. Menikah, sebagai pria yang matang secara seksualitas, itulah harapan paling agung yang disebut-sebut setiap selesai salat. Haha. Namun, ketahuilah wahai pemuda anda (dan saya) setidaknya harus lebih dulu mampu berdiri sendiri, mapan secara finansial. Ehem. Sehingga, pilihan terakhir adalah karena saya dan anda lulus di saat negara ini sedang dipimpin oleh presiden yang dengan getolnya menyebarkan tagline : KERJA! Maka kerja menjadi pilihan yang jauh paling tinggi prosentasinya.

Kerja, kerja, kerja! Kemudian dengan syedih saya setidaknya harus sedikit setuju dengan seorang kawan, dengan sedikit bersenda gurau, dia nyeletuk.”Presidenmu ikuloh, kerjo, kerjo, kerjo ae! Masalahe kerjo nandi, cak?

Yoiki. Batinku dalam hati, kritis betul ini. Haha. Lihat saja, angka pengangguran terbuka menurut data terbaru BPS sebanyak 7,45 juta orang. Dan ada data yang lebih spesifik menyebutkan sekitar 400 ribu lulusan sarjana menganggur. Bayangkan? Maka? MAKA, jangan salahkan angka-angka tersebut, periksalah diri anda ngapain saja ketika kuliah? Haha. Hastag #Nasihatuntukdirisendiri #Tamparankeras

Mencari kerja yang sesuai itu gampang-gampang susah. Begitu nasehat para senior yang sudah bekerja. Dan nasehat keluhan senior yang belum bekerja ya pasti, mencari kerja itu sulit. Tapi, percayalah sesulit-sulitnya mencari kerja akan lebih sulit jika anda tidak bekerja. Trust me! Haha. Sebenarnya jika mau lebih kreatif, menciptakan lapangan pekerjaan tidaklah terlalu sulit jika anda punya modal, atau jika anda berani memulai saja, atau jika anda sedikit kreatif saja, dan atau-atau lainnya yang sampai sekarang tidak saya miliki. Eh. Haha. Jadi gini. Dengan adanya isu tentang bonus demografi, industri kreatif kemudian muncul –dianggap sebagai salah satu alternatif terbaik. Maka, ciptakan lapangan pekerjaan dalam ranah industri kreatif. Menurut data BPS industri kreatif selama ini mampu menyerap 10,6% dari total tenaga kerja yang dapat diserap perekonomian. Dan diperkirakan ekonomi kreatif setiap tahunnya dapat menyerap 10-11% tenaga kerja. Bayangkan, betapa besar anda turut berjasa? Haha. Tetapi jika anda sudah terlalu kreatif, sehingga merasa bosan dengan industri kreatif yang itu-itu saja, saya punya referensi industri kreatif yang baru. Iyah.

Industri kreatif : tipu-tipu. Dan begini konsepnya, di penghujung september besok, akan ada banyak –ribuan lulusan sarjana (dan diploma) dari berbagai universitas dan institut. Kemudian akan banyak sekali lowongan-lowongan pekerjaan yang dibuka. Jobfair menjamur, lowongan kerja (loker) di koran tumpah-tumpah, info loker di internet nyampah dan nyepam sampai bulu ketek. Lalu, muncul lah anda (bersama tim) disana, buatlah perusahaan palsu yang seolah-olah sedang mencari karyawan, pandai-pandailah menduplikat perusahaan besar mulai dari logo, email perusahaan, hingga tanda tangan HRD atau pimpinan perusahaan. Kemudian jika sudah banyak menerima Lamaran+CV dari para calon karyawan perusahaan palsu anda, beri tahu mereka bahwa mereka telah lulus tes administratif dan undang mereka untuk menjalani tahapan tes berikutnya. Undang mereka ke Jakarta (kantor pusat) dan bilang bahwa anda telah bekerja sama dengan agen/travel tertentu –yang itu juga anda sendiri, bersama tim. Lalu tunggu para peserta transfer uang ke agen/travel palsu anda, demi undangan (yang juga palsu) anda ke Jakarta. Beres. Dapatlah uang. Jangan lupa beri tahu : biaya akomodasi akan diganti perusahaan (palsu anda) setelah peserta sampai di Jakarta.

Bagaimana, anda tertarik bergabung dengan industri kreatif tipu-tipu semacam itu? saya sih, GAK! Saya mah cukup kena tipu saja. Tapi tolong, sekali itu saja, Tuhan!



Lulus, Gelisah dan Euforia

Read More