Entahlah. Saya merasa bingung mau menulis apa. Jika saya sedang duduk
bertiga dengan dua sahabat saya, sebut saja Alfan dan Tono. Pasti
ujung-ujungnya masalah perempuan sudah menjadi bahasan kami bertiga. Haha. Dua
pria tanggung menyedihkan itu mahasiswa semester akhir yang menurut saya sama
saja –galau urusan cinta.
Buktinya, mana ada seorang -jomblo-menjaga-diri- akut semacam Alfan dengan
percaya diri menyembunyikan perasaan cinta dengan begitu bahagianya, perlu
diulang : dengan begitu bahagia. Padahal kan, cinta diam-diam itu akan menghadapi
penolakan atau penerimaan secara diam-diam pula. Lah, apa enak yang kayak
begitu? Kan lebih baik tegaskan saja : Ungkapkan atau Lupakan! Haha. Sementara
akhi Tono kurang galau apa coba, mahasiswa yang topik skripsi saja belum punya tapi
sudah sibuk mengikuti pelatihan pra-nikah, belajar buku-buku pernikahan.
Seperti itu anda anggap bukan galau, haha. Itu sudah benar-benar galau urusan
cinta, hanya saja penyalurannya agak positif : belajar dulu –eksekusinya
belakangan.
Sayangnya saya lagi sendirian di kamar, tidak sedang bersama mereka.
Sehingga saya tidak akan membahas urusan cinta dan perempuan. saya akan
membahas hal yang lebih urgen keren, urusan : Pekerjaan, misalnya. Haha.
Tapi saya tidak sedang ikut-ikutan ramai memperbincangkan perdebatan tentang
kaum buruh yang meminta kenaikan gaji dan kelas menengah yang nyinyir menyindir
atau sebagian lain nyolot mendukung. Pro dan kontra diantara mereka, mempunyai
sudut pandang pembelaan tersendiri yang bagi saya sama-sama benarnya. Misalnya,
kelas menengah yang nyinyir menyindir kaum buruh dengan argumen buruh kok pakai
gadged mahal, motor ninja, liburan ke Bali, mbok ya sadar, hidup secukupnya
saja. Kalau mau gaji naik ya tingkatkan produktivitasnya dong. Adapula yang nyolot
mendukung bahwa tuntutan macam apa yang tidak realistis, upah buruh di Indonesia
saja masih tergolong rendah di Asia Tenggara. Sementara produktivitas macam apa
yang ributkan, lah kalian tidak merasakan sendiri secara langsung bagaimana
rasanya berada di bagian produksi, berdiri berjam-jam, menghirup zat kimia
(berbahaya) setiap hari, sudah gitu ditambah mau tidak mau ya kebanyakan meninggalkan
waktu ibadah. Lah, mesin harus jalan terus jeh.
Haha, sudahlah. Riuh dan perdebatan semacam itu memang perlu supaya
terus terjadi perbaikan dan keadilan dari semua pihak, baik kaum buruh, maupun pengusaha. Namun, sejatinya janganlah
lupa untuk bahagia bersyukur, demi apa saja yang ada di depan mata. Setidaknya
sudah ada informasi diumumkan bahwa UMK tahun depan (2016) naik. Ah,
habis itu juga banyak PHK lagi, haha. Udah begitu.
Sebagai freshgraduate, dan pekerja (kontrak) baru. Saya merasa memasuki
dunia baru, yang kadangkala seringkali menyenangkan. Saya pernah diingatkan
–bahkan terkadang sampai sekarang, bahwasanya yang perlu disiapkan pertama kali
dalam bekerja adalah mental. Mental adalah hal pertama yang harus disiapkan,
sementara saya sendiri kadang berpikir mental yang seperti apa. Kesiapan untuk
bekerja –saya siap. Atau barangkali mental untuk dimarah-marahin dan
disuruh-suruh, haha. Itu saya. Setidaknya banyak sekali mental yang harus
disiapkan, mental bukan hanya sesederhana tersebut. Saya sendiri juga sedang
belajar memperbaiki mental.
Sebagai contoh kecil. Barangkali mental kerja yang selalu merindukan akhir pekan atau pengen
sesegera mungkin jam 5 sore, adalah bukan mental yang baik. Haha. Dan barangkali
bekerja sebaik-baiknya tanpa memperdulikan gaji anda sekarang adalah mental yang
baik, karena pada akhirnya gaji akan mengikuti kinerja, dan kalaupun tidak –ya
tentu saja Tuhan yang melebihkan. “Bos, marahin saya jika kerja saya tidak
baik. Tapi pliss jika kerja saya
baik, ndak usah dipuji, naikin saja gaji, udah.”
“Masalahnya, kamu selalu saya marahin. Bib!” [SKIP]
Barangkali perlu diketahui, bahwa yang lebih penting adalah mental untuk melangkah maju, sepertinya
begitu. Belajar banyak dari hal-hal baru yang sebelumnya sedikit atau bahkan
belum pernah diketahui sama sekali.
Dengan melangkah maju kita sadar arti penting dari move on. Iya, sebut
saja mental move on. Haha. Seperti halnya galaunya cinta oleh Alfan dan Tono,
mereka mampu move on dengan cara, kemampuan dan pribadinya masing-masing. Bagaimana
kegalauan Alfan soal cinta mampu dia sembunyikan yang kemudian bisa berwujud sikap
move on, yang mana dia begitu percaya diri oleh cinta diam-diam, bahwa perasaan
itu belum saatnya diungkapkan, menunggu sampai waktu yang tepat dalam
kebersiapan yang baik adalah sikap laki-laki. Begitulah cara dia move on. Kepercayaan
diri seorang Alfan ini bisa dilihat dari Poto Profil Facebooknya dimana sudah
beberapa minggu dia menggunakan gambar dengan sebuah kalimat, “Kalau Tuhan
menjodohkan kita, pacarmu bisa apa?”. Lihatlah kalimat itu, bisa jadi cinta
diam-diam Alfan itu ditujukan kepada seorang yang sudah punya pacar –sekarang.
Bisa saja. Itu sebuah kode. Alfan adalah seorang pengkode ideal. Haha. Dengan
sikap move on yang seperti itu, saya yakin Alfan pada suatu saat nanti akan
mendapatkan salah satu dari dua hal ini : Pendamping hidup atau Pelajaran
hidup.
Sementara Tono, bagaimana dia move on dari kegalauan cinta dengan
belajar, baginya tidak ada cara untuk menunda perasaan cinta yang datang. Cara
satu-satunya adalah mempersiapkan, bukan tergesa memulai apalagi sengaja menunda.
Bukan. Maka tidak heran jika Tono ikut pelatihan pra-nikah, membaca buku-buku
pernikahan. Sungguh mulia galau sekali hatinya. Kalaupun dia tertarik
dengan perempuan akhwat –halah sama saja, haha. Tono tidak
menampakkannya, dia diam dan memasrahkannya pada Tuhan. Bukan main kode-kodean
seperti Alfan. Haha.
Sementara saya yang sudah move on dalam arti yang sebenarnya, saya
sadar lelaki yang terlalu dalam menyesali putus cinta adalah lelaki yang bodoh.
Lelaki harus segera bangkit, kalau tidak ingin kalah dalam persaingan baru
diluar sana. Haha.
“Dik, saya sudah move on, masa lalu saya sudah selesai. Boleh, saya memulai masa depan bersama adik?”
@Mojokerto, Hujan Pertama November 2015.
0 komentar:
Post a Comment